Military Leadership: Grand General TNI Sudirman

by -93 Views
Military Leadership: Grand General TNI Sudirman

Dengan berbagai keputusan teladan sebagai Panglima TNI pertama, Jenderal Sudirman telah memberikan warisan yang dahsyat dan terhormat bagi generasi TNI berikutnya: Tradisi kepahlawanan dalam bentuk yang paling murni.
Ia meninggalkan pangkalan yang penuh harga diri dan kebanggaan bagi generasi pemimpin TNI di masa depan. Karakter dan tindakan Pak Dirman saat itu mencerminkan karakter dan tindakan seorang pemimpin pejuang sejati.
Keheroisannya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan yang tak kenal lelah yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Ia mengokohkan gagasan bahwa prajurit TNI harus berani mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.
Jenderal Sudirman lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916. Ia adalah seorang guru sekolah dasar di sebuah sekolah yang dikelola Muhammadiyah di Solo, yang saat itu bernama Surakarta. Ketika para pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia berhasil meyakinkan penduduk Jepang bahwa mereka harus mengizinkan penduduk asli Indonesia membentuk organisasi militer pertahanan diri, berbagai organisasi militer diorganisir di bawah pengawasan ketat Jepang.
Di Jawa, pasukan ini disebut Pembela Tanah Air (PETA). PETA di Jawa diorganisir di tingkat kabupaten, dan terdapat sekitar 60 batalyon sukarelawan PETA yang dilatih dan diorganisir. Komandan batalyon dipilih dari pemimpin pribumi yang sangat dihormati di kabupaten mereka.
Di Purwokerto, seorang kepala sekolah muda dari sekolah menengah Islam di bawah naungan Muhammadiyah terpilih. Hal ini menunjukkan bagaimana, sebagai seorang kepala sekolah muda, Sudirman sudah dikenal dan dihormati karena integritas dan karakter yang teguh. Pemuda-pemuda yang memiliki sedikit pendidikan dan reputasi baik terpilih sebagai komandan perusahaan dan komandan peleton. Mereka dilatih oleh Jepang di pusat pelatihan perwira di Bogor. Di antara para komandan perusahaan ada nama-nama seperti Suharto, Ahmad Yani, Kemal Idris, Surono, Sarwo Edhie, dan banyak nama lain yang kemudian menjadi terkenal sebagai pemimpin TNI.
Selama perang, para komandan PETA ini segera mengambil alih kepemimpinan batalyon mereka dan bersumpah setia kepada republik baru yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Sebagai pemimpin batalyon Purwokerto, Sudirman segera bergerak menuju Magelang, salah satu pusat konsentrasi militer sejak zaman kolonial Belanda. Setelah merebut Magelang pada akhir 1945, Sudirman tanpa henti mengejar pasukan Inggris yang mensekutui Hindia Belanda.
Meskipun Inggris berencana untuk mundur, pasukan Sudirman terus-menerus mengganggu pasukan Inggris sehingga kepergian mereka dipercepat. Dalam persepsi pejuang kemerdekaan Indonesia, ia menjadi sosok heroik yang mewakili semangat juang TNI. Dia diakui sebagai orang yang mendorong dan mengejar pasukan Inggris keluar dari Magelang dan memimpin serangan Ambarawa terhadap mereka. Ini adalah pukulan penting dalam memastikan bahwa Jawa Tengah berada di bawah kendali penuh Republik Indonesia.
Setelah peristiwa di mana Sudirman mendapatkan ketenaran dan mendapat penghormatan dari sesama komandan batalyon di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Presiden Sukarno, melalui Menteri Pertahanan, menunjuk Urip Sumarjo sebagai Panglima Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) 5 Oktober 1945. Perwira senior Teratas Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) saat itu, Urip Sumoharjo, diangkat sebagai Panglima Besar.
Ia bersumpah setia kepada TNI. Ia dianggap sebagai prajurit aktif paling profesional dan berpengetahuan di Indonesia. Namun, para pemimpin semua batalyon di Jawa memprotes bahwa mereka tidak ingin memiliki Panglima Besar yang dilatih oleh Belanda. Mereka semua memilih Sudirman sebagai Panglima Besar. Keputusan mereka disampaikan kepada Presiden Sukarno. Untuk menjaga kesatuan dan kedamaian republik yang masih muda, Presiden Sukarno mengubah keputusannya. Sudirman diangkat sebagai Panglima Besar TKR, dan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum di bawahnya.
Pada 19 Desember 1948, meskipun ada kesepakatan gencatan senjata di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda melancarkan operasi militer dalam bentuk serangan mendadak terhadap Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Banyak yang menyamakan serangan ini dengan serangan mendadak Jepang terhadap Pearl Harbor pada tahun 1941 atau tikaman di belakang Prancis oleh Signor Mussolini pada tahun 1940. Menghadapi kenyataan ini, banyak pemimpin negara saat itu memutuskan untuk tidak bertahan dan melawan serta membuktikan ketidaklegitiman tindakan Belanda melalui cara bersifat diplomatis dan politik.
Pada akhir 1948 Jenderal Sudirman, Panglima TNI pertama, menderita tuberkulosis yang parah. Kesehatannya sangat buruk, dan ia hanya memiliki satu paru-paru yang berfungsi setelah menjalani operasi. Meskipun sakit, Sudirman keluar dari rumah sakit tempat ia dirawat dan pergi menemui Presiden Sukarno pada awal serangan mendadak Belanda. Ia menyarankan agar Presiden meninggalkan Yogyakarta bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan memimpin perang gerilya melawan invasi Belanda. Namun, Presiden Sukarno menolak untuk memimpin perang gerilya.
Sukarno bahkan memerintahkan Jenderal TNI Sudirman untuk tetap tinggal di kota karena kondisi medisnya yang parah. Presiden Sukarno, bersama hampir seluruh anggota kabinetnya, memilih untuk tidak meninggalkan kota untuk berperang dan menawarkan perlawanan yang sangat sedikit ketika pasukan Belanda yang mendekat menangkap mereka.
Jenderal Sudirman memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta dan melakukan perang gerilya melawan musuh. Berdasarkan catatan sejarah, dapat disimpulkan bahwa rakyat Indonesia sangat kecewa dengan kabar penangkapan Presiden, Wakil Presiden, dan Perdana Menteri Indonesia. Namun, perlawanan sengit yang dilakukan oleh Jenderal TNI Sudirman dan anak buahnya meningkatkan semangat seluruh bangsa, dan TNI akhirnya mendapatkan posisi unggul.
Dengan berbagai keputusan teladannya, Jenderal Sudirman telah memberikan kepada generasi TNI berikutnya warisan yang dahsyat dan terhormat, yaitu tradisi kepahlawanan dalam bentuk yang paling murni. Kepemimpinannya dalam perang gerilya melawan Belanda meninggalkan pangkalan yang penuh harga diri dan kebanggaan bagi generasi pemimpin TNI di masa depan.
Jenderal Sudirman telah menunjukkan bahwa ia memiliki kepribadian yang kuat dan tidak kekurangan keberanian, sikap teguh dan semangat pengorbanan yang tulus. Ia sadar betul bahwa ada kemungkinan besar ia akan terluka dan tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai selama perang gerilya semacam itu. Namun, ia memilih untuk mengorbankan nyawanya demi kepentingan bangsa Indonesia. Tindakannya mengangkat kepercayaan bawahan dan rakyat luas dalam menghadapi serangan Belanda.
Sulit dibayangkan bagaimana keadaannya jika saat itu Jenderal Sudirman juga ditawan oleh Belanda. Sikap dan tindakan Pak Dirman pada saat itu tak lain adalah sikap dan tindakan seorang pemimpin pejuang sejati. Perbuatan heroiknya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan tak kenal lelah yang menempatkan kepentingan bangsa dan kepentingan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Ia meneguhkan tradisi TNI untuk mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Source link