SOSIOLOG Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat mengatakan dalam pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), terdapat fenomena orangtua yang rela melakukan segala cara agar anaknya dapat diterima di sekolah negeri. Hal ini dikatakan merupakan bentuk perjuangan masyarakat untuk mendapatkan akses pendidikan publik.
“Sekolah negeri dianggap sebagai suatu akses pendidikan publik yang diperjuangkan oleh masyarakat. Jadi mereka rela melakukan berbagai cara mengaksesnya. Dalam teori pendidikan, sekolah publik itu selalu dicari diperjuangkan oleh seluruh masyarakat di seluruh dunia,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Minggu (21/7).
Di Indonesia, menurutnya masih terdapat beberapa hal yang menyebabkan masih maraknya kasus dalam pelaksanaan PPDB. Salah satunya adalah penyimpangan regulasi, dalam hal ini terdapat perbedaan pelaksanaan regulasi di lapangan.
Baca juga : Belum Diakomodasi, Puluhan Emak-Emak di Depok kembali Gelar Aksi Tuntut Kepastian PPDB
“Makanya orangtua berbagai cara dilakukan baik itu zonasi dan umur. Fenomena ini juga dijumpai pemalsuan data, kartu keluarga, nilai rapor dan sebagainya. Bahkan ada istilah di sekolah namanya perang bintang, ini adalah dari masyarakat melakukan berbagai cara negosiasi dengan titipan dari kalangan politisi, pejabat dan lainnya untuk memperjuangkan sekolah di negeri. Jadi kalau di level daerah ada pejabat, pengusaha, anggota TNI/Polisi meniripkan anaknya,” kata Rakhmat.
Selain itu, Rakhmat juga menilai permasalahan PPDB selama ini juga disebabkan oleh kurangnya infrastruktur sekolah negeri. Hal ini menyebabkan jumlah penduduk meningkat yang tidak dibarengi dengan peningkatan sekolah negeri setidaknya dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.
“Jadinya terjadinya penumpukan sekolah negeri di daerah tertentu. Padahal bisa memperbanyak jumlah sekolah negeri di daerah-daerah. Misalnya kalau populasi banyak bisa dihitung dan ditambah sekolahnya. Lalu juga bisa melakukan kerja sama dengan sekolah swasta supaya tidak ada ketimpangan. Selama ini kan masih ada ketimpangan. Kalau itu tidak dibenahi, maka orangtua akan berjuang dengan berbagai cara untuk bisa mengakses ke sekolah negeri,” tuturnya.
Baca juga : Korupsi Jual Beli Nilai Rapor Demi Lulus PPDB Diduga Terjadi di SD Negeri Kota Depok
Menurutnya sampai saat ini orangtua juga masih terbentuk pandangan mengenai adanya sekolah unggulan. Zonasi sebetulnya memiliki prinsip yang baik yaitu untuk menghapuskan sekolah unggulan.
“Kalau sekolah baru ditingkatkan jumlahnya nah bisa meminimalisir anggapan sekolah unggulan. Makanya menurut saya pendekatannya harus simultan dengan peningkatan jumlah sekolah baru. Dalam jangka panjang akan terasa tidak ada lagi ketimpangan,” tegas Rakhmat.
“Selama ini kan yang kurang dari PPDB adalah pendekatan demografi yang tidak melihat jumlah populasi di level kecamatan. Hal yang dilihat kan umur dan jarak. Ini yang menjadi masalahnya. Kalau dibuka persaingan baru dengan sekolah baru di kecamatan tersebut akan terdistribusikan dan tidak akan menumpuk di suatu tempat saja,” sambungnya.
Baca juga : Kemitraan Sekolah Swasta dalam PPDB Dibutuhkan Untuk Atasi Masalah Daya Tampung
Secara terpisah, Anggota Komisi X DPR RI Lisda Hendrajoni menyayangkan masih adanya beberapa persoalan pendidikan di Indonesia yang belum terselesaikan. Misalnya, terdapat ketimpangan antara sekolah favorit dan tidak, sehingga para orangtua akan berlomba memasukkan anaknya ke sekolah favorit tersebut.
Karena itu, Lisda menilai hal tersebut harus menjadi perhatian bersama agar bagaimana dunia pendidikan seharusnya bisa menambah jumlah sekolah dengan sarana dan prasarana secara merata dan memadai.
“Persoalanya saat ini, bagaimana peran negara hadir? Adakah niat baiknya atau tidak? Apakah dalam hal ini negara mampu membangun sekolah, memberikan pelatihan-pelatihan kepada guru-guru kita? Pasalnya sekolah dan guru-guru yang mempunyai kualitas baik menjadi investasi masa depan bangsa ini, sedangkan untuk membangun jembatan dan jalan tol saja bisa,” ujar Lisda.
Baca juga : P2G Minta Implementasi Sistem PPDB Zonasi Diperbaiki Bukan Dihapus
Lebih lanjut, dia menjelaskan saat ini yang terjadi di lapangan adalah bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin berkurang jumlah sekolahnya. Jumlah SD lebih banyak daripada jumlah SMP, dan jumlah SMP lebih banyak daripada jumlah SMA.
Sehingga, dengan situasi seperti ini akan berdampak pada anak yang tidak kebagian sekolah, terlepas juga masalah ekonomi. Permasalahan seperti ini sudah seharusnya menjadi kewajiban negara agar bagaimana anak-anak harus di Indonesia bisa bersekolah semua.
“Kalau seperti ini (jumlah sekolah terbatas) berarti pemerintah mempersiapkan anak-anak kita untuk tidak bersekolah, dan tidak mendapatkan hak pendidikan. Ini betul-betul sudah melanggar Undang-Undang 1945, di mana pemerintah harusnya hadir dalam upaya mencerdaskan seluruh anak bangsa merupakan amanat UUD 1945. Maka itu negara wajib hadir dan turun tangan mewujudkan hal tersebut,” pungkasnya. (Z-3)