Genap 40 tahun sudah Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Namun, implementasi CEDAW di Indonesia masih menemui sejumlah tantangan.
Hal itu dipaparkan oleh Wakil Ketua Yayasan Kalyanamitra sekaligus perwakilan CEDAW Working Group Indonesia Rena Herdiyani dalam webinar bertajuk “40 Tahun Indonesia Menjalankan Komitmen Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan: Capaian dan Tantangan”, Senin (22/7).
Tantangan pertama adalah masih kurangnya pemahaman tentang CEDAW bagi eksekutif, legislatif, dan yudikatif di tingkat nasional dan lokal. Rena menyebut CEDAW misalnya hanya dipahami oleh eksekutif, khususnya Kementerian PPPA, tapi belum dipahami oleh kementerian/lembaga lainnya termasuk mahkamah yudikatif dan DPR.
Baca juga : Selama RUU PPRT Disandera DPR, Praktik Perbudakan Modern akan Langgeng di Indonesia
Tantangan kedua, masih ada sejumlah peraturan perundang-undangan baik di tingkat nasional maupun daerah yang diskriminatif terhadap perempuan. “Di antaranya Undang-Undang Perkawinan yang masih melakukan pembakuan transgender antara suami dan istri, melegalkan poligami dengan syarat yang diskriminatif terhadap perempuan dan disabilitas, dan sejumlah perda-perda di beberapa daerah,” katanya.
Menurut catatan Komnas Perempuan, ada 62 perda diskriminatif yang mengontrol tubuh perempuan dan bahkan sangat diskriminatif terhadap kelompok minoritas seksual.
Ketiga, CEDAW belum menjadi bagian integratif dalam implementasi kebijakan dan terinstitusionalisasi dalam setiap kementerian/lembaga negara. Keempat, belum optimalnya pemantauan yang sistemik dan sistematis atas pelaksanaan rekomendasi Komite CEDAW serta lemahnya koordinasi lintas kementerian/lembaga.
Baca juga : Indonesia Kenalkan Obligasi Oranye untuk Dukung Kesetaraan Gender
Kelima, pergantian pemerintahan dan anggota legistatif baru 2024-2029. “Jadi artinya kita mulai dari nol lagi. Mungkin ada di pemerintahan yang sudah paham CEDAW tetapi ketika ada pergantian menteri, pejabat eselon yang belum memahami CEDAW maka itu dimulai lagi dari nol, termasuk anggota DPR yang belum paham tentang CEDAW atau UU 7 84,” paparnya.
Ia sendiri mengakui banyak juga capaian implementasi CEDAW terutama dalam 4 tahun terakhir. Misalnya terbitnya kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan prinsip-prinsip CEDAW, seperti Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi, UU No 12 Tahun 2022 tentang TPKS, Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2024 tentang UPTD PPA, dan lain-lain.
Pada kesempatan yang sama, Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat menyampaikan bahwa hingga kini masih ada perempuan yang menjadi kelompok rentan di masyarakat.
Baca juga : Afirmasi Keterwakilan Perempuan hanya Formalitas!
Misalnya anak perempuan yang rentan mengalami Pelukaan dan Pemotongan Genital Perempuan (P2GP). Ia pun mendorong kriminalisasi segala bentuk P2GP.
Kelompok rentan lain adalah perempuan pekerja seks. Mereka dianggap masih mengalami stigma dan diskriminasi terutama melalui perda-perda. Menurut Rainy, pemerintah seharusnya fokus melihat akar-akar persoalan.
“Dilabelkan dalam perda-perda (sebagai) orang dengan masalah sosial, sama dengan HIV, termasuk minoritas seksual. Umumnya di Indonesia perempuan pekerja seks adalah perempuan yang dilacurkan karena kondisi struktural dan tekanan ekonomi keluarga,” katanya.
Baca juga : KPU Perlu Berbenah Selesaikan Masalah Berbasis Gender
Kelompok rentan selanjutnya ada minoritas seksual, perempuan dengan HIV/AIDS, perempuan pekerja terutama pekerja informal, perempuan pekerja rumah tangga, perempuan pekerja disabilitas. Kemudian perempuan adat, perempuan pengungsi luar negeri, dan pencari suaka, Ia pun mendorong Kementerian PPPA untuk mensosialisasikan CEDAW lebih gencar lagi.
Plt Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian PPPA Indra Gunawan menyebut pihaknya terus mendorong upaya pemenuhan hak perempuan berdasarkan rekomendasi CEDAW. Misalnya mempercepat proses RUU Kesetaraan Gender, mengkriminalisasi semua bentuk mutilasi alat kelamin perempuan, mempercepat adopsi RUU Kekerasan Seksual, dan mengubah ketentuan diskriminatif dalam UU No. 16/2019 tentang Perkawinan.
“Tidak hanya soal bagaimana membuat kebijakan tapi tentu juga bagaimana implementasi dan monitoringnya yang perlu kita perkuat ke depan untuk memastikan bahwa isu-isu gender ini bisa sampai turun ke bawah, dan bisa diimplementasikan sampai ke tingkat paling bawah,” ujarnya. (H-2)