GRAND GENERAL TNI (RET.) H. M. SUHARTO

by -93 Views
GRAND GENERAL TNI (RET.) H. M. SUHARTO

Pak Harto adalah pribadi yang sangat disiplin, rajin, dan teliti. Saya menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Dia bangun sangat pagi setiap hari. Setiap hari dia tiba di kantor tepat pukul 08:00 pagi. Ciri khasnya adalah tulisannya yang rapi dan ingatannya yang kuat, yang juga dikenal sebagai ingatan fotografi. Dia juga sangat mahir dengan angka. Dia juga seorang pembaca yang rajin. Maka, Pak Harto sangat mendorong orang untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan di luar negeri, meskipun dia sendiri tidak pernah bersekolah di luar negeri. Dia selalu tersenyum. Dia jarang marah atau terlihat marah. Ketika dia marah, dia akan diam. Dan dia tidak suka berbicara dengan orang yang marah. Itulah beberapa kenangan saya tentang Pak Harto. Saya menjadi menantu Pak Harto pada tahun 1983. Pada saat itu, saya adalah seorang kapten dan telah melakukan operasi di Timor Timur dua kali. Pertama pada tahun 1976 ketika saya adalah Komandan Peleton Grup 1 KOPASSANDHA (sekarang KOPASSUS) dengan pangkat Letnan Dua. Saya bergabung dengan tim Nanggala 10 yang dipimpin oleh Mayor Infanteri Yunus Yosfiah. Kedua pada tahun 1978, ketika saya adalah Komandan Kompi Para-Commando yang bernama Chandraca 8. Pasukan saya saat itu adalah kompi pasukan penyerang yang langsung berada di bawah pimpinan komandan sektor. Pertama, saya di bawah Komandan Sektor Timur Kolonel Infanteri R.K. Sembiring Meliala. Kemudian saya di bawah Komandan Sektor Tengah Letnan Kolonel Infanteri Sahala Rajagukguk. Pada saat itu, Kolonel Infanteri Sembiring adalah Komandan Resimen Tempur 18 (RTP 18) dengan Brigade Infanteri KOSTRAD Linud 18 sebagai intinya. Sementara itu, Letnan Kolonel Infanteri Sahala Rajagukguk adalah Komandan Resimen Tempur 6 (RTP 6), dengan Brigade Infanteri KOSTRAD 6 sebagai intinya. Pak Harto adalah pribadi yang sangat disiplin, rajin, tepat waktu, dan teliti. Saya beruntung bisa menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Dia bangun sangat pagi setiap hari. Dia tiba di kantor pukul 08:00 pagi tepat. Pukul 01:00 siang, dia sudah berada di rumah untuk makan siang. Di sore hari, dia bermain golf tiga kali seminggu. Sementara pukul 19:00 dari Senin hingga Jumat, dia akan menerima tamu. Dia makan malam pukul 21:00. Lalu pada pukul 21:35, setelah siaran berita Dunia Dalam Berita di TVRI selesai, dia masuk ke ruang studinya. Ruang studinya sangat kecil. Meja pun sangat kecil. Memang, jika kita bandingkan dengan rumah-rumah saat ini, bahkan rumah saya sendiri, rumahnya relatif lebih kecil. Kamar tidurnya pun bukan kamar mandi dalam. Itulah mengapa ruang studinya sangat kecil. Setiap malam, akan ada tumpukan berkas di mejanya yang bisa mencapai tinggi 40-50 sentimeter. Saya mendengar dari ajudan-ajudannya bahwa setidaknya ada 40 berkas dan surat yang ia baca dan tandatangani setiap malam dari Minggu hingga Jumat. Hanya pada Sabtu malam, seseorang tidak akan menemukannya di meja kerjanya. Saya sering melihatnya bekerja sampai pukul 01:00 atau bahkan 02:00 pagi. Sementara itu, dia akan bangun pukul 04:30 pagi atau 05:00 paling lambat. Kadang-kadang ia hanya mendapatkan 3-4 jam tidur. Hal ini berlangsung selama puluhan tahun. Kita hanya bisa membayangkan betapa rajin dan telitinya dirinya. Kualitas khasnya lainnya adalah tulisan tangannya yang rapi dan ingatan fotografinya. Dia juga sangat mahir dengan angka-angka. Pada tahun 1985, ketika saya baru saja ditunjuk sebagai Komandan Batalyon Infanteri 328/KOSTRAD, saya pergi bertemu dengannya. Saat itu dia menceritakan kepada saya dengan panjang lebar dan detail pengalaman yang dia miliki dalam membentuk, merekrut, melatih, dan membangun sebuah batalyon tempur. Dia menceritakan pengalamannya sebagai pemimpin regu, Komandan Peleton, Komandan Kompi, Perwira Operasi Batalyon, dan banyak lagi. Dia membagikan banyak teknik dan praktik-praktik praktis serta hal-hal yang sangat spesifik. Dia bahkan bisa ingat level pendidikan masing-masing bekas bawahannya. Saya sangat terkesan mendengarkannya. Pada saat itu, sudah 17 tahun sejak dia meninggalkan militer dan 35 tahun setelah tugas-tugasnya dalam Perang Kemerdekaan. Kita hanya bisa membayangkan bagaimana seorang Presiden, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan yang mengendalikan agenda pembangunan nasional mulai dari pestisida, pupuk, benih, irigasi, pabrik pesawat, pabrik kereta api hingga isu politik luar negeri, dan yang tidak pernah memimpin batalyonnya selama puluhan tahun, masih bisa dengan jelas mengingat pembentukan, rekrutmen, dan pelatihan unit-unit militer di level regu, peleton, kompi, dan batalyon. Saya menerapkan pelajaran-pelajaran yang ia bagikan kepada saya ketika saya menjadi Komandan Batalyon 328. Hal ini membuat Batalyon 328 sangat dapat diandalkan dan diakui oleh banyak orang sebagai salah satu batalyon yang paling tajam selama bertahun-tahun. Juga khas dari dirinya adalah pemahaman yang sangat mendalam terhadap filosofi Jawa dan sejarah Nusantara. Pak Harto secara luas mengungkapkan kepemimpinannya dengan ajaran-ajaran kuno dan filosofi Jawa. Hal ini wajar karena semua pendidikannya terjadi di Indonesia, di kampung halamannya di desa Kemusuk di Yogyakarta. Sebagian besar bacaannya berasal dari para sarjana Jawa dari abad-abad sebelumnya. Filosofi yang paling sering diajarkannya adalah ojo dumeh, ojo lali, ojo ngoyo, ojo adigang, adigung, adiguna; selain ojo kagetan, ojo gumunan, dan sing becik ketitik sing olo ketoro. Buku yang dia terbitkan, Butir-Butir Budaya Jawa, sangat berguna. Ini adalah kumpulan aforisme, ajaran, dan pepatah. Buku ini sangat penting untuk memahami jiwa Indonesia dan memahami latar belakang budaya Indonesia karena, tentu saja, budaya Jawa sangat memengaruhi pandangan hidup orang Indonesia. Ajaran-ajaran ini bukan sekadar slogan semata. Bagi banyak orang, ajaran-ajaran ini menjadi panduan untuk hidup sukses, panduan untuk kebahagiaan dalam kehidupan ini. Hal ini juga menjadi panduan yang sangat praktis, dan sebenarnya, menurut pendapat saya, mereka menjadi suara bijak yang tetap hidup sepanjang masa. Oleh karena itu, mereka yang mengikuti ajaran-ajaran ini menggunakan kebijaksanaan para pendahulu kita, para leluhur dan para tua-tua kita. Saya ingin bercerita tentang suatu kesempatan ketika Batalyon 328 yang saya pimpin diperintahkan untuk melakukan operasi di Timor Timur. Satu malam sebelum berangkat, saya dipanggil oleh Pak Harto ke rumah dinasnya di Jalan Cendana. Saya memberitahukan kepada bawahan-bawahan saya bahwa Pak Harto memanggil saya. Mereka senang. Telah menjadi tradisi bahwa ketika Panglima Tertinggi memanggil seseorang sebelum mereka melakukan misi, Pak Harto akan memberikan mereka sangu atau bantuan keuangan khusus. Dana ini bisa digunakan untuk memperkuat logistik, sehingga mengurangi beban para komandan. Saya tiba di Cendana sebelum pukul 8:30 malam. Setelah menerima tamu, dia bertemu dengan saya dan bertanya apakah benar saya akan melaksanakan operasi besok. Saya menjawab ya. Kemudian dia mengatakan kepada saya, ‘Saya hanya punya tiga pesan untukmu, Bowo. Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Simpanlah di dalam hatimu!’ Setelah saya menyatakan bahwa saya siap, Pak Harto lembut meletakkan tangan di atas kepalaku sebagai tanda berkat, seperti yang selalu dia lakukan kepada anak-anaknya, cucu-cucunya dan orang-orang tercintanya, dan membiarkan saya pergi. Setelah kembali ke batalyon di Cilodong, semua perwira menunggu di ruang operasi, yang kami sebut ruang Yudha, ruang perang. Mereka menunggu kabar baik dari rumah Pak Harto. Saya menyampaikan kepada mereka bahwa saya hanya bersama Pak Harto selama lima menit. Dalam pertemuan singkat itu, Pak Harto meninggalkan tiga pesan: Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Saya juga memberitahu mereka bahwa, sejenak, saya juga terkejut dan agak kecewa. Karena daripada menerima dana, saya hanya diberi tiga pesan. Namun, selama perjalanan selama satu jam dari Cendana ke Cilodong, saya merenungkan tentang tiga pesan yang diberikan oleh seorang Komandan yang tumbuh di lapangan operasi tempur. Pak Harto adalah penggagas dan pelaksana Serangan Umum 1 Maret yang berhasil mengambil alih kendali Yogyakarta selama enam jam di akhir tahun 1948. Malahan, pada saat itu, militer Belanda sangat kuat di Jawa Tengah. Dia juga terlibat dalam berbagai operasi penekanan di Sulawesi, seperti pemberontakan Andi Azis. Dia juga memimpin pembebasan Irian Barat sebagai Panglima Operasi Mandala. Dia juga merupakan tokoh kunci dalam membubarkan pemberontakan komunis G30S/PKI pada tahun 1965. Sebagai Panglima Tertinggi dengan pengalaman tempur yang luas, nasihat Pak Harto tentu harus memiliki makna yang sangat dalam. Pertama, ojo…

Source link