EKONOM Senior Bright Institute, Awalil Rizky mengatakan pemerintah cukup mengalami kesulitan dalam mengelola keuangan negara karena adanya aturan kewajiban anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari belanja. Hal itu menyebabkan pola kecenderungan realisasi anggaran pendidikan dalam APBN tidak optimal selama 4 tahun terakhir sejak 2020 hingga 2023.
“Anggaran pendidikan dalam APBN nyaris tidak pernah terealisasi sepenuhnya dalam beberapa tahun terakhir. Jika realisasi tersebut dihitung dari total belanja maka rasionya sebagai berikut 18,25 persen (2020), 17,21 persen (2021), 15,51 persen (2022) dan 16,45% (2023),” kata Awalil pada diskusi bertajuk “Fiskal Anggaran Pendidikan” yang diselenggarakan Bright Institute pada Selasa (10/9).
Awali menuturkan karena kesulitan keuangan yang dihadapi terus berulang, akhirnya pemerintah lewat Kementerian Keuangan memberi wacana ingin mengubah aturan anggaran yang mengacu pada pendapatan mengingat nilainya lebih kecil dari belanja. Meski demikian, ia menilai revisi UUD demi mengubah acuan ketentuan belanja wajib pendidikan bukan solusi yang tepat.
Baca juga : Pemerintah Harus Berhati-Hati dalam Mengutak-Atik Anggaran Pendidikan
“Sebenarnya masalah utama kita adalah pada kualitas belanja, termasuk untuk pendidikan. Jadi, yang perlu segera diperbaiki itu efisiensi dan efektivitasnya,” kata Awalil.
Selain itu, Awali juga memaparkan data mengenai alokasi melalui belanja pemerintah pusat bagian belanja Non Kementerian/Lembaga atau Bendahara Umum Negara. Dari alokasi anggaran sebesar Rp75,58 triliun, yang terealisasi hanya Rp2,76 triliun, atau hanya 3,65% pada APBN 2023.
“Kemudian alokasi melalui pembiayaan sebesar Rp Rp69,5 triliun, yang direalisasikan hanya Rp20 triliun atau 28,78% pada tahun 2023. Realisasi pada tahun-tahun sebelumnya pun sangat rendah, yaitu: 43,67% (2021) dan 17,04% (2022). Pada tahun 2024 yang sedang berjalan pun diperkirakan hanya kisaran 38,75%,” ujarnya.
Baca juga : Kemendikbud-Ristek Tegaskan Anggaran Tahun Depan Tidak Cukup untuk Lanjutkan Program
Awali menjelaskan anggaran pendidikan melalui pembiayaan bersifat investasi, terutama kepada beberapa dana abadi Dana Abadi di Bidang Pendidikan. Selain Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan, ada Dana Abadi Pesantren, Dana Abadi Penelitian, Dana Abadi Kebudayaan, dan Dana Abadi Perguruan Tinggi.
“Alokasi kepada lembaga tersebut umumnya terealisasi pada tiap tahun anggara. Namun, sejak tahun 2019 hingga saat ini, terdapat pos pembiayaan pendidikan. Pos ini sebenarnya bersifat cadangan,” imbuhnya.
Kendati demikian, Awali menilai angka tersebut melonjak drastis pada tahun 2020 sampai dengan 2023. Realisasi pembiayaan pendidikan hampir selalu nol persen atau tidak direalisasikan. Nilainya sebesar Rp97,38 triliun pada 2022 dan Rp49,5 triliun pada 2023. Sedangkan pada 2024 berjalan dialokasikan sebesar Rp52 triliun.
“Bright Institute menyarankan pihak berkepentingan melakukan gugatan atas realisasi Anggaran Pendidikan dalam APBN tahun 2021-2023. Realisasi APBN yang dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) ditetapkan oleh DPR sebagai Undang-Undang. Undang-Undang mestinya bisa diuji ke Mahkamah Konstitusi,” ungkapnya.
Awali lebih lanjut memaparkan anggaran APBN yang dialokasi pada 2023 sebesar Rp624,25 triliun, sedang realisasi hanya Rp513,39 triliun atau 82,24%. Sementara dua tahun sebelumnya, realisasi juga kurang dari 90%, yaitu 87,20% (2021) dan 77,30% (2022). Hal itu berlanjut pada tahun 2024 yang sedang berjalan diperkirakan hanya kisaran 80%. (S-1)