Perempuan Jawa Terdomestifikasi Setelah Perang Diponegoro

by -31 Views
Perempuan Jawa Terdomestifikasi Setelah Perang Diponegoro
Perempuan Jawa Terdomestifikasi Setelah Perang Diponegoro
GKB Bendara, putri Sri Sultan Hamengku Buwono X(MI/AGUS UTANTORO)

PEREMPUAN Jawa dalam catatan sejarah, tidak hanya berkutat pada urusan ‘dapur-sumur-kasur’ saja, namun memiliki peranan yang sangat besar dan luar biasa.

Gusti Kangjeng Ratu (GKR) Bendara, salah satu putri Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, perjalanan dalam mendefinisikan konteks dan konsep perempuan dalam kebudayaan memang mengalami pasang surut. “Pada periode tertentu perempuan dalam kedudukan begitu luhur dengan segala keagungannya,” katanya.

Di depan peserta Seminar dan Bedah Buku “Jejak Peradaban, Perempuan di Ruang Domestik, Publik dan Politik” yang membedah buku berjudul GKR Hemas Ratu di Hati Rakyat  di sebuah hotel di Yogyakarta, hari Sabtu (14/12), GKR Bendara mengungkapkan, dalam Kakawin Subadra Wiwaha, perempuan diibaratkan sebagai penjelmaan bunga Srigading ( (Nyctanthes arbor-tristis) yang menyatukan kecantikannya, dengan gigi yang bercahaya, bibirnya seperti keindahan bunga Katirah, matanya bersemayam bunga Teratai Biru dan bunga Gadung yang menjulur di leher. Rambut perempuan bagai keindahan sulaman bunga Bakung.

“Para pujangga menggambarkan kecantikan perempuan serupa dengan keindahan alam yang tak terbatas,” katanya.

Realitas tersebut, ujarnya, berhubungan dengan relasi politik dan sosial kerajaan sebagai penanda kekuasaan seoramng raja secara individual.  

Di Keraton Yogyakarta, katanya sejarah perempuan yang diwakili oleh narasi permaisuri cukup prominen. “Mereka para permaisuri itu patut diperhitungkan dalam perjalanan sejarah pemerintahan di kota kerajaan terutama di keraton-keraton Jawa bagian selatan,” jelasnya.

Berdasarkan definisinya, lanjut GKR Bendara, kata permaisuri (prameswari-Jawa) atau parama iswari merupakan terminologi  Jawa yang berarti “langkung luhuring  pawestri atau perempuan utama. Pada realitas sejarah, katanya lagi, permaisuri sejak zaman Sri Sultan Hamengku Buwono I juga memegang posisi strategis dalam kemiliteran. Permaisuri, lanjutnya adalah Panglima Kesatuan Langenkusuma. 

“Perempuan tidak hanya sekadar bisa berperang tetapi juga mahir dalam taktik dan strategi militer, strategi perang dan bahkan politik. Kesatuan Langenkusuma menjadi praksis muruah bagi perempuan pada paruh abad ke-19,” urainya.

Bahkan pada abad yang lebih muda, Keraton Yogyakarta mencatat adanya permaisuri yang mampu menjadi diplomat ulung, negosiator handal dan pengelola tata negara strategis yang sangat mumpuni. Permaisuri ini dalam sastra babad dikenal dengan nama Gusti Kangjeng Ratu Sultan atau Ratu Andayaningrat. “Ia dapat disebut sebagai Srikandi dari Keraton Jawa,” katanya.

Peran perempuan di kancah strategis ini mengalami kemerosotan setelah Perang Jawa (Java Oorlog) atau Perang Diponegoro 1825-1830. Pasca Perang Jawa, jelasnya, menjadi penanda tatanan baru di keraton-keraton Jawa. Peran perempuan ujarnya dikerdilkan dan mengalami kondisi yang disebut domestifikasi. “Kondisi dan peran perempuan Jawa mengalami pasang surut sejak tahun 1375 berdasar relief Kresnayana di Candi Panataran hingga Perang Jawa,” jelasnya.

Kondisi perempuan yang mengalami domestifikasi ini, kata GKR Bendara, menjadi konsekuensi dari kondisi sosial-politik kalah perang. Dalam tatanan baru Pasca Perang Jawa, katanya, perempuan kembali menjadi objek pingit yang menempatkan gender laki-laki sebagai pelakunya. Padahal, jelasnya, jika dilakukan telaah yang lebih lanjut, narasi peran perempuan merujuk pada gendernya yang dinamis, bukan dalam realita yang statis.

Multidimensi

Pada kesempatan itu, Permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Hemas mengatakan tema tentang perempuan selalu menarik untuk dibahas. “Perempuan selalu memiliki peran yang sangat penting dalam berbagai dimensi,” kata GKR Hemas.

Harus diakui, katanya sejak dahulu, perempuan selalu menunjukkan keberanian, kepemimpinan dan kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat di berbagai ranah.

Selain memiliki peran reproduksi, katanya, perempuan Indonesia tidak pernah lepas dari perjalanan perjuangan bangsa ini. Hal itu terbyukti dengan puluhan perempuan dari berbagai yang mendapat gelar pahlawan nasional.

Di lingkup Keraton Yogyakarta, kata Bu Ratu, sapaan akrab GKR Hemas, peran permaisuri sebagai perempuan nomor satu dalam tatanan politik kerajaan sering diusung sebagai tawaran perspektif tentang sepak terjang perempuan di ruang publik. “Kisah permaisuri dalam catatan peneliti barat tidak dapat diremehkan begitu saja,” katanya.

Permaisuri, imbuhnya tidak hanya sebagai pendamping raja tetapi juga seseorang yang mahir dalam segala urusan termasuk pedagangan dan moneter.

Di era modern, jelasnya, keberadaan perempuan dalam politik tidak boleh hanya dalam angka-angka tetapi juga soal pengaruh dan peran aktif pembentukan kebijakan yang adil, berpihak pada rakyat dan menjamin hak-hak perempuan terwujud dengan baik.

“Sejak saya aktif dalam dunia sosial – politik puluhan tahun lalu, saya menyadari sebagai perempuan harus pandai membagi waktu dan peran baik sebagai isteri, ibu dan eyang. Sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah dan peran di berbagai kegiatan sosial,” katanya.

Di bagian akhir, GKR Hemas mengungkapkan, menafsirkan peran perempuan baik domestik maupun publik artinya merekonstruksi mindset yang telah lama terbentuk di masyarakat. “Perempuan punya kuasa atas dirinya, mereka berdaulat dan merdeka untuk menentukan langkahnya,” pesan GKR Hemas. (H-2)

Source link