Saya merupakan seorang penggemar Formula 1 sejak masa kecil dan menonton pemutaran F1: The Movie membuat saya merasa film ini sebenarnya bukan untuk penggemar seperti saya. Film tersebut dibuat dengan biaya besar untuk menarik penonton baru, terutama di Amerika Serikat, dengan harapan kesuksesan seperti yang diraih oleh Drive to Survive, serial Netflix yang populer belakangan ini. Dibintangi oleh Brad Pitt sebagai mantan pembalap F1 Sonny Hayes, dan melibatkan nama-nama besar seperti Jerry Bruckheimer, Hans Zimmer, dan pembalap F1 Lewis Hamilton, film ini diprediksi akan sukses besar musim panas ini.
Meskipun Hayes adalah seorang pembalap yang tidak lagi muda, ia diberi kesempatan untuk memperbaiki nasib tim F1 yang sedang berjuang, APX GP. Dalam film ini, Hayes memiliki pendekatan unik untuk mengatasi masalah tersebut, termasuk desain mobil “shitbox” unik yang menantang konvensi. Permintaannya untuk mobil yang dirancang untuk “bertempur” menambahkan elemen dramatis kepada cerita, terutama dengan adegan balapan yang terkadang terlalu dramatis untuk dipercayai.
Bagi banyak penggemar F1, aspek teknologi yang maju menjadi ciri khas utama dari seri balap ini. Namun, film ini mungkin gagal secara realistis mewakili teknologi F1 dengan baik, terutama dengan penanganan teknis Haye yang terkesan angkuh. Keterlibatan para pembalap F1 di dalam film juga agak minim, dengan mayoritas di antaranya hanya memainkan peran figuran belaka. Diharapkan, interaksi yang lebih mendalam antara karakter Hayes dan pembalap nyata dapat menambah kualitas film.
Mungkin satu-satunya hal yang menonjol dari film ini adalah kemunculan bintang tamu dari dunia F1 seperti Stefano Domenicali, Toto Wolff, Will Buxton, dan bahkan anjing Hamilton, Roscoe, yang mendapat kredit khusus atas penampilannya. Meskipun memiliki potensi besar, F1: The Movie mungkin tidak sepenuhnya memenuhi harapan para penggemar setia Formula 1, terutama dalam representasi teknologi F1 yang maju dan interaksi yang lebih substansial antara karakter film dengan pembalap nyata.