Ngertakeun Bumi Lamba: Harmoni Jiwa di Lereng Gunung Tangkuban Parahu
Pagi itu, embun masih menggantung di daun-daun saat kaki Gunung Tangkuban Parahu ramai oleh ribuan jiwa yang datang membawa hati suci untuk disucikan. Mereka mengenakan busana adat Sunda, Bali, Dayak, Minahasa, hingga ragam tradisi lain, bersatu dalam Ngertakeun Bumi Lamba — ritual adat Sunda yang telah digelar selama 17 tahun sebagai seruan cinta pada bumi dan kehidupan.
Simfoni Alam, Suara Leluhur
Karinding yang ditiup lembut sang Baduy menggetar, lalu berbaur dengan angklung, genta para sulinggih Bali, dan tetabuhan Minahasa. Suara-suara itu tak saling bersaing, tetapi berpadu jadi satu nyanyian yang melampaui bunyi, menyelinap sebagai doa lintas iman, suku, dan generasi. Di dalamnya ada pesan tentang waktu, leluhur, dan rindu yang tak pernah terucap.
Kesadaran yang Tumbuh di Tengah Keberagaman
Air mata jatuh bukan karena duka, tetapi karena rasa syukur yang mendalam. Para pendekar, guru, dan tokoh adat duduk sejajar, saling menunduk, menyadari kecilnya diri di hadapan semesta. Dalam keberagaman, mereka menemukan kekuatan. Dalam kesederhanaan, mereka menemukan cinta.
Makna Luhur Ngertakeun Bumi Lamba
“Ngertakeun” berarti memakmurkan, merawat, menjaga. “Bumi lamba” menunjuk pada tanah yang luas sebagai simbol semesta. Upacara ini lahir dari tradisi kerajaan Sunda kuno, yang kemudian dipopulerkan kembali oleh R.M.H. Eyang Kanduruan Kartawinata pada 1964. Ini adalah perjanjian spiritual untuk menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan leluhur.
Rangkaian Suci
Dimulai dengan ngaremokeun (penyucian energi), dilanjutkan doa-doa, dan diakhiri ngalung di Kawah Ratu sebagai simbol syukur. Bapak Wiratno berkata, “Puncak budaya Nusantara adalah saat kita sanggup mewariskan kearifan ini pada generasi mendatang.”
Andy Utama dari Yayasan Paseban menambahkan, “Jangan berhitung dengan semesta, karena jika semesta berhitung dengan kita, semuanya sudah terlambat.” Pesannya jelas: hentikan pertikaian, sebarkan cinta kasih kepada seluruh makhluk — yang tampak maupun yang tersembunyi.
Pekik Janji untuk Bumi
Dalam hening, Panglima Pangalangok Jilah berdiri tegak dan meneriakkan “Taariu!” tiga kali, pekikan dari jiwa yang menyampaikan janji: bumi dan leluhur akan dijaga. Disusul Panglima Minahasa yang berkata, “Gunung adalah penjaga. Merawatnya adalah merawat masa depan anak cucu. Di sinilah Bhineka Tunggal Ika hadir, di sinilah Pancasila hidup. Merdeka!”
Gunung sebagai Penopang Kehidupan
Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Wayang, dan Gunung Gede Pangrango disebut sebagai pilar spiritual bumi. Dody Baduy menegaskan, “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak.” Amanah itu dijalankan Arista Montana dan Yayasan Paseban dengan menanam lebih dari 15.000 pohon, merawat hutan, dan menyemai cinta pada bumi.
Ritual Usai, Pesan Tetap Menyala
Di bawah langit Megamendung yang berkabut, langkah-langkah pulang terasa berbeda. Mereka tidak hanya membawa kenangan, tetapi juga amanah: merawat bumi, memuliakan nilai-nilai luhur, dan memeluk kehidupan dengan cinta. Ritual ini bukan sekadar tradisi tahunan, tetapi pesan yang terpatri di hati untuk dijalani setiap hari.
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Menganyam Cinta Kasih Nusantara Di Tubuh Semesta
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Upacara Adat Nusantara Untuk Cinta Kasih Semesta Dan Pelestarian Alam