LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

by -94 Views
LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Bung Tomo sering diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dapat mengaduk dan membangkitkan semangat orang-orang, tetapi Gubernur Suryo juga adalah seorang juru bicara yang berbakat. Pidatonya menandai dimulainya perang sejarah untuk Surabaya.

Bayangkan ini. Gubernur Suryo bahkan bukan seorang prajurit. Dia bukan personel militer. Tetapi dia memahami bahwa dia memiliki tanggung jawab sejarah untuk bertahan. Dia mengerti peran kepemimpinan: Seorang pemimpin harus sopan, harus membela kehormatan bangsa. Dia mewakili rakyatnya. Dia telah menunjukkan contoh besar kepada generasi muda tentang bagaimana seorang pemimpin mengambil keputusan sulit dan bagaimana seorang pemimpin bertindak tegas dalam membela tanah airnya.

Gubernur Suryo merupakan bagian integral dari peristiwa pada 10 November 1945. Ia berada di balik keputusan untuk memulai Pertempuran Surabaya, salah satu peristiwa sejarah paling penting yang pernah dilawan oleh rakyat Indonesia. Pertempuran besar antara arek-arek Suroboyo, yang terdiri dari para pemuda dan pelajar madrasah Surabaya, melawan Pasukan Inggris. Ini merupakan peristiwa pahlawan dalam pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang telah begitu sulit diraih.

Pertempuran massif melawan pemenang Perang Dunia II berlangsung selama tiga minggu, menewaskan lebih dari 16.000 pejuang Indonesia dan mengungsi 200.000 warga sipil. Pertempuran yang besar, mematikan ini diperingati setiap 10 November di Indonesia sebagai Hari Pahlawan.

Pertempuran Surabaya dimulai dengan kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, yang tewas dalam baku tembak antara pejuang Indonesia dan pasukan Inggris pada 30 Oktober 1945. Ini merupakan puncak dari pertempuran hampir satu minggu antara Brigade yang dikomandani oleh Mallaby dan pasukan Indonesia di Surabaya. Mallaby melakukan kesalahan besar dengan membagi brigadenya menjadi unit tingkat peleton yang menduduki banyak pos di Surabaya. Pada saat itu, pasukan bersenjata Indonesia berjumlah puluhan ribu setelah merebut ribuan senjata dari Jepang. Ada yang merupakan pasukan resmi. Ada juga sukarelawan. Ada pula gang bersenjata. Oleh karena itu, peleton-peleton ini tidak dapat saling membela satu sama lain karena terlalu tersebar tipis di kota sebesar Surabaya. Brigade itu dilenyapkan sebagai kekuatan yang terorganisir. Tindakan ini berujung pada pembunuhan Mallaby. Tentu saja, ini mempermalukan Inggris. Mereka marah. Mereka menuntut agar para pembunuh ditangkap, dan pasukan Indonesia didisarmkan.

Inggris marah atas kematian jenderal mereka, menuntut agar para pelaku ditangkap.

Serangkaian pertemuan yang dilakukan oleh Komandan Divisi ke-5 Angkatan Darat Inggris, Jenderal Mayor Robert C. Mansergh, dengan Gubernur Jawa Timur, berakhir dengan kebuntuan.

Akhirnya, setelah salat Jumat pada 9 November 1949, Angkatan Darat Inggris mengeluarkan ultimatum dengan melemparkan pamflet dari udara agar seluruh penduduk Surabaya membacanya. Ultimatum tersebut menuntut bahwa semua pemimpin perlawanan Indonesia menyerah dan bahwa semua warga Indonesia yang tidak berwenang untuk membawa senjata menyerahkan senjata mereka. Semua perempuan dan anak-anak Indonesia diperintahkan untuk meninggalkan kota menuju Mojokerto dan Sidoarjo.

Batas waktu yang diberikan untuk ultimatum tersebut adalah pukul 18.00. Jika perintah tidak dipatuhi, Angkatan Darat Inggris bersumpah untuk menghancurkan seluruh kota. Tentu saja, ultimatum tersebut menciptakan kepanikan di antara penduduk Surabaya. Namun, kelompok pemuda militan yang dipimpin oleh Bung Tomo, yang awalnya menolak tuntutan Inggris, menyatakan bahwa mereka siap untuk berperang.

Gubernur Suryo meminta penduduk Surabaya tetap tenang karena mereka harus menunggu perintah dari Jakarta. Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Bung Karno kemudian sepenuhnya menyerahkan keputusan tentang bagaimana merespons kepada rakyat Surabaya.

Pada saat yang kritis tersebut, Gubernur Suryo harus membuat keputusan penting yang akan menentukan masa depan Surabaya dan, secara luas, Indonesia. Keputusannya akan menunjukkan kepada dunia apakah Indonesia adalah bangsa besar yang dapat bertahan dari serangan militer besar oleh pasukan asing. Negara ksatria ini tak takut pada siapa pun, termasuk kekuatan super seperti Inggris, untuk membela kedaulatannya. Atau jika dia memutuskan untuk menerima ultimatum tersebut, Indonesia akan kembali menjadi negara yang ditaklukkan, negara yang terhina, negara yang merunduk di bawah ultimatum yang dikeluarkan oleh pasukan asing, dan menyerah sebelum pertempuran dimulai. Keputusan besar ini hanya bisa diambil oleh Gubernur Suryo sendiri.

Saat waktu batas yang ditetapkan oleh Inggris berlalu, Gubernur Suryo menyampaikan keputusan bersejarah kepada penduduk Surabaya melalui radio. Berbeda dengan Bung Tomo, pidatonya tidak berapi-api. Namun, pidato singkat yang disampaikan dengan tenang cukup kuat untuk memobilisasi semua orang yang mendengarkannya untuk memegang senjata dan membela Surabaya.

Meskipun Bung Tomo telah diakui sebagai seorang pemimpin revolusioner yang dikenal karena orasinya yang menggugah, Governor Suryo dengan nada yang tenang namun tegas juga memiliki kekuatan yang sama. Pidato Gubernur Suryo menjadi ‘seruan pertempuran’ pertama yang menandai dimulainya pertempuran bersejarah. Hanya bisa dibayangkan emosinya saat dia berbicara kepada penduduk Surabaya.

Lebih sulit untuk dimengerti, mengingat Gubernur Suryo bahkan bukan seorang prajurit. Namun, dia sepenuhnya mengakui perannya sebagai pemimpin: Seorang pemimpin harus berani untuk mengambil keputusan sulit dan bertindak tegas dalam membela kehormatan tanah airnya. Dia mewakili rakyatnya. Dia adalah harapan rakyatnya. Demikianlah kualitas kepemimpinan besar yang telah ditunjukkannya kepada generasi muda.

KAMI LEBIH MEMILIH HANCUR DARIPADA DINJAJAH LAGI!

Saudara-saudara,

Pemimpin-pemimpin kita di Jakarta telah berusaha sebaik mungkin untuk mengelola perkembangan di Surabaya. Tetapi sayangnya, itu semua sia-sia. Sekarang terserah kepada kita, rakyat Surabaya, untuk memutuskan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Semua upaya kita untuk bernegosiasi telah gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan bangsa kita, kita harus meneguhkan dan menegaskan tekad kita untuk menghadapi segala kemungkinan.

Berkali-kali, kita telah menyatakan posisi kita: Kita lebih memilih hancur daripada direkolonialisasi. Sekarang, menghadapi ultimatum Inggris, kita akan tetap mempertahankan sikap tersebut. Kita akan tetap teguh menolak ultimatum tersebut.

Dalam menghadapi setiap kemungkinan besok, mari kita semua menjaga persatuan antara pemerintah, rakyat, angkatan bersenjata (TKR), kepolisian, pemuda dan organisasi perlawanan di tingkat bawah. Mari kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar kita diberi kekuatan dan Berkah serta Bimbingan-Nya dalam pertempuran ini.

Selamat berjuang!

Gubernur Jawa Timur, R. M. T. Ario Soerjo

Source link