OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN
SAYA adalah salah satu korban kemacetan 13 Km jalan tol kemarin, sebagaimana diberitakan berbagai media, yang diciptakan demo buruh di Cibitung, Bekasi.
Dalam suasana kesal kemacetan, saya senang melihat papan pengumuman di atas jalan tol memberitahukan alasan kemacetan, yakni demo buruh. Senang karena perjuangan buruh menuntut upah dan hak-hak normatif mereka adalah perjuangan rakyat miskin Indonesia.
Prabowo Subianto telah mengatakan beberapa waktu lalu bahwa buruh jangan “mencekik” pengusaha, dengan menuntut upah. Juga, Menteri Ketenagakerjaan melegitimasi kenaikan upah buruh yang kecil, bahkan ada yang kurang dari 50 ribu perak saja.
Ini adalah gambaran buruh mungkin tidak punya kawan dalam jajaran elite bangsanya.
Situasi ini berbeda misalnya dengan di China. Hu Jintao, Sekjen Partai Komunis China, 2010, membela buruh (I. Wibowo, 2010). Dengan garang dia memaksa perusahaan-perusahaan asing yang ada menaikkan upah. Beberapa perusahaan asing menaikkan upah sebesar 25-30%.
Hu Jintao tentu berbeda dengan pemimpin bangsa ini, yang cuma memikirkan nasib sendiri dan keluarganya. Di China, setidaknya saat itu, pandangan Politik negara untuk kaum buruh menjadi landasan.
Sedang di sini, pemimpin bangsa adalah bagian dari 0,02% orang, penguasa rekening perbankan nasional (CNBC, 2/8/2023). Mereka adalah kaum kapitalis.
Relasi buruh dan kapitalis yang ditakutkan Prabowo memburuk jika menuntut upah tinggi adalah alasan sepihak. Semua kapitalis pasti membenci kenaikan upah buruh, dan juga pajak yang tinggi. Namun, di Indonesia, kapitalis seperti Prabowo maupun Jokowi menjadi kaya berbeda jalan dengan orang-orang kaya di eropa.
Di Indonesia, orang-orang kaya muncul berkembang dengan memanfaatkan akses kekuasaan. Dengan kekuasaan, atas nama negara dan UU yang dibuat, mereka mengeksploitasi besar-besaran kekayaan alam, akses keuangan, jaringan bisnis lokal dan internasional, dan lain-lain untuk menggandakan kekayaannya.
Bahkan, misalnya, tahun 1998, negara “dibangkrutkan” mereka, di mana negara menanggung utang-utang mereka sebesar Rp 600 triliun.
Sebaliknya, di Eropa, orang-orang kaya berkembang karena jerih payah mereka membangun bisnis, baik menjelajahi daerah koloni, maupun membangun industri dari bawah. Mereka hampir tidak berutang budi pada negara.
Lebih aneh lagi, begitupun, di negara-negara maju konsep kesejahteraan diberlakukan. Kesenjangan, di Eropa abad ke-19 dan 20, misalnya, pernah menjadi pemicu kekerasan politik, permusuhan dan bahkan pembantaian orang-orang kaya Yahudi.
Ketakutan akan kesenjangan membuat upah buruh merupakan instrumen keadilan sosial. Di Indonesia, sejak tahun 90-an, misalnya, kesenjangan sosial tidak pernah berubah.
Seratus juta rakyat tetap miskin, dan negara berusaha sekadar menyubsidi makan mereka. Negara tidak pernah hadir melakukan transformasi sosial. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.
Kepada Siapa Buruh Mengadu?
Buruh dalam konteks rakyat yang berjumlah 60-100 juta jiwa adalah pemilik Republik. Negara ini ada dan menciptakan utang belasan ribu triliun serta belasan ribu triliun lainnya yang dibawa ke Singapura serta negara lainnya, adalah sebuah entitas karena kaum buruh melegitimasi eksistensi negara tersebut. Tanpa ada kaum buruh, maka negara itu tidak ada.
Kesadaran kepemilikan kaum buruh atas negara ini adalah penting. Jika Trotsky, tokoh buruh Rusia di era lalu, menyarankan agar buruh menjadi kekuatan pelopor maupun tentara rakyat, maka kaum buruh harus berpikir seperti itu pula. Buruh harus melawan kapitalis dan negara yang dikendalikan kaum kapitalis.
Bagaimana caranya?
Cara pertama tentu adalah kekuatan massa. Massa buruh harus berani menjadi kekuatan penekan untuk berunding dengan kapitalis tentang upah kepada buruh dan tentang kesejahteraan dengan negara.
Cara kedua, buruh harus memenangkan kursi di parlemen. Kehadiran Partai Buruh harusnya bisa menjadi jalan bagi kepentingan bersama kaum buruh. Namun, ini tergantung para pemimpin buruh, mau menang sendiri atau mau bekerja sama.