LPSK Memperkuat Mekanisme Perlindungan Jurnalis Selama Pemilu 2024
JAKARTA – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan tanggapan atas draft mekanisme penanganan kekerasan terhadap wartawan dalam peliputan Pemilu 2024. Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menyerahkan berkas tanggapan kepada Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu terkait finalisasi mekanisme respons kekerasan terhadap wartawan dalam Konteks Pemilu. Secara garis besar, LPSK siap memberikan perlindungan kepada wartawan, termasuk perlindungan kedaruratan.
“Laporan memang perlu, tetapi untuk kegawatdaruratan kita bisa melaporkan bersama. Jadi, kami memastikan laporan ada sambil perlindungan sudah berjalan,” kata Hasto dalam keterangannya pada Ahad (17/12/2023).
Perlindungan kedaruratan ini bagian dari terobosan yang dilakukan LPSK yang juga ditunjukkan kepada pembela Hak Asasi Manusia (HAM) pada Mekanisme Respon Cepat Pembela HAM yang digagas bersama Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Pelaporan kedaruratan tersebut dapat dilakukan jika seseorang sudah mendapat ancaman ataupun masih potensi ancaman, kemudian adanya kebutuhan proses hukum dan adanya tindakan medis segera.
“Permohonan perlindungan kepada LPSK dapat dilakukan oleh instansi terkait yang menaungi korban. Jadi, perusahaan media atau organisasi pers dimana wartawan menjadi anggota dapat mengajukan perlindungan untuk wartawan yang menjadi korban saat sedang bertugas,” ujar Hasto.
LPSK berkomitmen mendukung terciptanya ruang publik yang kondusif, sehat, dan aman bagi para wartawan serta mendukung ketersediaan mekanisme perlindungan bagi wartawan khususnya dalam konteks Pemilu.
“Saya berharap dalam rumusan kesepahaman pelaksanaan mekanisme respons kekerasan dan mekanisme perlindungan bagi wartawan dapat terintegrasi dengan baik,” ucap Hasto.
Sementara itu, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu ingin memastikan dukungan perlindungan bagi wartawan dan insan pers lainnya saat sedang melakukan tugas. Kekerasan yang terjadi sudah sangat beragam berupa fisik, psikologis, ekonomi, hingga menyerang akun WhatssApp, ujaran kebencian, doxing, perusakan alat kerja, peretasan web site.
“Modusnya, web site media online akan dibanjiri traffic yang membuat server down. Hal tersebut mengakibatkan bandwidth besar sehingga membuat biaya tagihan membengkak hingga ratusan juta,” ujar Ninik. (Sumber: Republika)