Trauma bisa terjadi kepada setiap korban atau penyintas dari suatu kejadian bencana. Namun, tidak semua penyintas akan sampai pada fase tersebut. JAKARTA – Palupi Budi Aristya atau Upi (21 tahun) belakangan dirundung waswas. Aktivitas Gunung Merapi, Jawa Tengah yang meningkat, menimbulkan kengerian mendalam baginya, lebih dari orang-orang lain. Ingatan dari masa kecil tentang peristiwa besar pada 2010 silam, mudah memicu ketakutan ketika menemukan lagi momentumnya. Ketika itu, Upi dan keluarganya harus mengungsi menyelamatkan diri dalam suasana yang panik dan mencekam, meninggalkan rumah mereka yang hancur, dalam rangkaian letusan terbesar Merapi di era modern. “Waktu itu saya masih kelas 3 SD. Yang paling membekas ya waktu itu, kejadian sore kita disuruh ngungsi. Alhamdulillah sekeluarga aman semua. Traumanya mungkin lebih karena posisinya panik pascaletusan, mengungsi, dan takut itu keulang lagi,” ungkap Upi kepada Validnews beberapa waktu lalu. Amukan Merapi pada2010 silam menyebabkan kerusakan masif. Muntahan lava pijar meluluhlantakkan desa-desa di selatan lereng, sepanjang jalur Kali Gendol di Kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY. Di sanalah rumah Upi berada, hancur dan diselimuti abu. Saat ini, setelah lebih dari sepuluh tahun berlalu, kenangan itu kembali menghantui. Upi telah pindah ke sebuah rumah baru di wilayah Cangkringan yang masih berjarak sekitar 10 km dari Merapi. Meskipun begitu, dia masih merasa cemas dan takut karena aktivitas gunung meningkat dalam beberapa hari terakhir, dan dia merasa panik setiap kali terdengar suara letusan. Apakah Upi mengalami trauma? “Rasa paniknya ada. Takut itu masih ada, cuma ya normal panik ketika ada letusan lagi,” ucap Upi. Rasa takut yang dirasakan Upi mudah dimengerti, mengingat pengalamannya berhadapan dengan peristiwa letusan 12 tahun silam. Baik bagi Upi adalah masih bisa menjalani keseharian dengan normal meski kadang ketakutan muncul. Upi agaknya contoh yang tepat sebagai penyintas yang mampu pulih dengan baik dari fase stres dan frustasi akibat kejadian luar biasa, seperti letusan gunung berapi. Lain ceritanya dengan Aris (27 tahun), penyintas bencana gempa dan tsunami Aceh tahun 2004. Pemilik nama lengkap Muhammad Arista Ramadhani ini memiliki pengalaman yang jauh lebih sulit dan panjang dalam bergelut dengan trauma akibat bencana alam. Ketika tsunami, Aris juga masih kanak-kanak, masih SD. Tapi ingatan itu jelas, tentang bagaimana ia dan keluarga harus berlari ke puncak bukit, dan menyaksikan kota tersapu gelombang tsunami. Aris dan seluruh keluarganya selamat. Namun rumah mereka yang berada tepat di bibir pantai, di Desa Lhok Kruet, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya, rata ditelan gelombang. “Waktu itu, kita stres, karena sering lihat mayat tiap hari, dan trauma dengan laut. Sampai SMP, saya masih takut lihat ombak, takut kalau mati lampu, takut ketika ada gempa. Setelah kejadian itu sering gempa-gempa susulan, itu saya terus menangis,” cerita Aris saat dihubungi Validnews, Minggu (12/3). Ketakutan akan gelap, menurut Aris, selain berkorelasi dengan peristiwa gempa dan tsunami, juga turut dibentuk oleh pengalaman hidup dekat dengan wilayah konflik Gerakan Aceh Merdeka. Sementara ketakutan akan laut, sepenuhnya dibentuk oleh pengalaman menyaksikan tsunami tahun 2004 silam. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Aris keluar dari fase traumatik itu. Salah satu yang membantunya adalah pendampingan psikologis yang ia terima dari berbagai relawan dan pendamping di pemulihan pascatsunami. Ragam kegiatan konseling yang diikuti di sekolah, membantu Aris mengalahkan ketakutannya akan gelap dan ombak. Kini, setelah dewasa, ia mengaku sudah kembali berdamai dengan laut dan mampu berkegiatan diving dan snorkeling. Hanya, masih ada satu gejala traumatik pada Aris yang belum hilang, yaitu takut akan ketinggian. Berada di tempat tinggi dan terbuka, selalu membuatnya merasa terancam. Seketika muncul lagi histeria ketika berada di puncak bukit saat kejadian tsunami, saat di tempat tinggi. “Pas kecil, saya nggak masalah dengan ketinggian. Setelah tsunami, saya takut,” tuturnya. Meski trauma itu masih membekas, Aris masih bersyukur tetap bisa menjalani kehidupan sehari-hari dengan wajar dan normal. ‘Trauma’ PascabencanaTrauma, penyingkatan dari Post Traumatic Stress Disorder, bisa terjadi kepada setiap korban atau penyintas dari suatu kejadian bencana. Namun, tidak semua penyintas akan sampai pada fase tersebut. Kebanyakan penyintas, berkat resiliensi yang baik serta dukungan komunitas, hanya mengalami fase stres sesaat kemudian pulih kembali seiring membaiknya situasi pascabencana. Praktisi Psikologi Kebencanaan, pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, Wahyu Cahyono, menjelaskan, dampak psikologis yang dirasakan setelah kejadian bencana adalah sesuatu yang wajar dan normal dalam situasi tidak normal (bencana). Wajar jika korban dalam periode awal setelah bencana merasa linglung, panik, ataupun terlihat murung, karena itulah dampak dari pengalaman luar biasa yang dialami. Apalagi bencana menyebabkan seseorang kehilangan orang-orang terdekatnya. “Wajar ini untuk berapa lama? Ini terkait juga dengan konteks budaya kita. Orang mengalami kedukaan, kematian, misalnya, biasa ada acara 7 hari, lalu 40 hari. Ya reaksi wajar ada di masa-masa itu. Lewat itu, jika masih dirasakan, sementara situasinya sudah tidak seperti itu, itu yang menjadi gangguan,” urai Wahyu. Wahyu menekankan bahwa selama ini penyematan istilah trauma, trauma healing pada upaya-upaya pendampingan korban bencana sebenarnya tidak tepat. Pasalnya ada prasyarat tertentu untuk menegakkan diagnosa seseorang mengalami trauma. Salah satunya yaitu bahwa yang bersangkutan mengalami gejala-gejala yang menjurus minimal dalam rentang waktu satu bulan. Jika kejadian bencana baru beberapa hari, secara ilmu kesehatan, tidak ada gejala-gejala yang bisa dikatakan sebagai trauma. “Misalnya, seseorang mengalami kecelakaan, lalu setelah sembuh cukup lama, ketika dengar suara motor dia langsung gemetaran, baru itu trauma,” jelas Wahyu. Korban bencana mengalami kekagetan karena kehidupan mereka berubah drastis dalam waktu singkat. Mereka kehilangan rutinitas, kehilangan harta benda, bahkan kehilangan anggota keluarga. Dalam keadaan seperti ini, seperti yang dijelaskan dalam Wahyu, setiap orang normal akan merasakan kesedihan yang besar. Pada tahap tersebut, korban memerlukan dukungan psikologis yang dapat berasal dari dalam komunitas atau dari pihak eksternal seperti para relawan yang membantu di lokasi bencana. Dukungan tersebut memiliki peranan penting dalam menentukan apakah seseorang akan dengan cepat beradaptasi dengan keadaan atau malah tenggelam dalam kesedihan dan perasaan sendiri. Dukungan psikologis awal, atau dukungan psikososial, inilah yang berperan membantu korban bencana untuk mengelola dampak psikologis yang mereka rasakan akibat bencana. Ini harus diupayakan dari dalam lingkup komunitas, atau masyarakat yang mengalami bencana itu sendiri. “Kalau kita mengandalkan relawan dari eksternal, enggak bakal cukup, enggak bakal berkelanjutan. Jadi, sebelum terjadi bencana, edukasi tentang apa yang bisa dilakukan untuk bisa menolong dalam hal pendampingan psikologi itu penting. Artinya kalau terjadi sesuatu, kita tahu apa yang terjadi dan apa yang bisa dilakukan,” jelasnya. Relawan, Dukungan PsikososialMembicarakan pendampingan psikologis awal untuk korban bencana di Indonesia tak lengkap kalau tak membicarakan para relawan bencana. Melengkapi penjelasan psikolog di atas, relawan adalah pihak yang menjadi pendukung potensial untuk ‘menyelamatkan’ korban bencana yang sebelum tenggelam ke level trauma. Dukungan psikososial ini unik karena berbeda dengan bentuk dukungan pada umumnya yang muncul saat kejadian bencana. Tak ada sembako, tak ada obat-obatan, ataupun fasilitas fisik yang diberikan. Padahal, ketika bencana alam merenggut semua sumber nafkah para korban, yang dibutuhkan pertama-tama adalah bantuan yang sifatnya materil. Akan tetapi, jangan salah, dukungan psikososial tak kalah pentingnya dengan dukungan materi bagi korban bencana. Seperti Upi dan Adi yang diceritakan di awal, yang memang merasa terbantu berkat dukungan psikologis yang mereka terima ketika bencana, ketika mereka masih kanak-kanak. Seperti apa bentuk dukungan psikososial ini? “Kegiatannya itu kebanyakan bermain sih. Ada kegiatan awal pembiasaan doa, materi dengan fun learning, games, permainan kelompok, sesi cerita, ngaji bareng, nobar. Intinya sebenarnya untuk ‘menceriakan’ kembali anak-anak terdampak gempa,” ungkap Dila, salah satu relawan yang tergabung dalam organisasi Persatuan Islam wilayah Jawa Barat, tentang pengalamannya mendukung korban anak di bencana gempa Cianjur, November 2022 lalu. Meski model kegiatan mereka adalah bermain, menurut Dila, kegiatan itu tetap menyisipkan pembekalan, Ada pengetahuan yang penting tentang kebencanaan dan nilai-nilai sosial disisipkan. Mulai dari mitigasi bencana, solidaritas, cinta alam hingga sikap saling menghormati. Kegiatan pendampingan untuk anak di lokasi bencana itu sekaligus menjadi upaya observasi bagi Dila dan timnya. Jika ada yang mengalami gejala serius yang mengarah ke trauma, maka akan dilaporkan untuk mendapat penanganan lebih lanjut. Dila sendiri adalah mahasiswa dari Jurusan Bahasa Jepang, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Dia bukanlah ahli atau praktisi psikologi. Namun, Dila menyebutkan bahwa relawan pendamping adalah orang-orang yang telah lebih dahulu menerima pembekalan khusus terkait kegiatan tersebut. Cerita lain datang dari Vidyardi Laksmono, Ketua Umum Grandma’s Foundation. Yayasan ini terakhir kali menurunkan relawan ke titik bencana erupsi Gunung Semeru, akhir tahun lalu, dan juga memberikan bantuan berupa program konseling bagi para korban. Grandma’s Foundation di lokasi bencana itu membentuk semacam ruang interaksi warga, mengajak warga berdialog tentang perasaan dan aspirasi-aspirasi mereka, bersama psikolog yang memang sudah dipersiapkan. Pendampingan psikososial yang dilakukan organisasi ini sepaket dengan dukungan lainnya, termasuk mengobati jika ada warga yang terluka, hingga menyampaikan aspirasi warga ke tingkat pemerintah. Sama dengan Dila dan tim, anak-anak tetap menjadi fokus utama kegiatan Grandma’s Foundation, selain juga lansia yang dianggap kalangan yang rentan. Bentuk kegiatannya pun mirip…