Sikap dan tindakan Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya dalam pertempuran Puputan Margarana tahun 1946 telah menetapkan kriteria kepemimpinan teladan bagi generasi TNI berikutnya: Memimpin dengan contoh, memimpin dari barisan terdepan, dan membuktikan patriotisme dengan pengorbanan tubuh dan jiwa. I Gusti Ngurah Rai memiliki semangat tempur seorang prajurit sejati dan lebih memilih mati daripada menyerah kepada musuh. Perang total (tradisi puputan) yang dipicunya membangkitkan semangat juang pasukannya dan melawan Belanda hingga titik kelelahan. I Gusti Ngurah Rai bertempur di medan perang hingga napas terakhirnya.
Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, I Gusti Ngurah Rai datang ke Yogyakarta atas inisiatif sendiri untuk bertemu dengan Jenderal Sudirman. Ia meminta mandat kepada Jenderal Sudirman untuk membentuk Tentara Republik Indonesia (TRI) di Bali dan Nusa Tenggara, yang dikenal sebagai Sunda Kecil.
Ia kemudian kembali dan merekrut pasukan serta mulai melakukan serangan terhadap pos Belanda yang dipasang pada akhir Perang Dunia II untuk merebut kembali Bali. Sejak pendudukan Jepang tahun 1942, I Gusti Ngurah Rai telah mengumpulkan pemuda Bali yang bersatu dalam Gerakan Anti-Fasis (GAF). Pada bulan September 1946, pasukan Belanda mulai melakukan serangan. Dan pada 19 November 1946, Belanda berhasil menyerang dan mengepung pasukan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai di Desa Margarana dekat Ubud.
Belanda telah mengirim utusan untuk meminta I Gusti Ngurah Rai menyerah. Jika ia menyerah, ia dan pasukannya akan diselamatkan. Tawaran itu datang dari Kapten Infanteri Belanda JBT Konig, salah satu perwira Batalyon Infanteri KNIL Gajah Merah, pasukan Belanda yang diperintahkan untuk menduduki Bali. JBT Konig pernah dekat dengan I Gusti Ngurah Rai.
Konig adalah salah satu perwira KNIL yang mengawasi Pendidikan Perwira (pendidikan calon perwira) Korps Prajoda di Gianyar, Bali sebelum Jepang tiba. I Gusti Ngurah Rai telah bergabung dengan Korps Prajoda sebelum pecah Perang Pasifik.
Suatu saat, I Gusti Ngurah Rai bahkan menyelamatkan Konig dan seorang perwira KNIL lainnya dengan membantu mereka melarikan diri ke Jawa ketika Jepang mulai menyerbu. Meskipun begitu, I Gusti Ngurah Rai menolak tawaran menyerah kepada Belanda, meskipun tawaran itu datang dari Konig, mantan atasannya. Untuk menjaga moral pasukan Indonesia di bawah komandonya, I Gusti Ngurah Rai tidak menjawab surat Konig. Jawaban I Gusti Ngurah Rai ditujukan langsung kepada atasan Konig, Letnan Kolonel Belanda Termeulen, pada 18 Mei 1946.
“Merdeka. Kami telah menerima tawaran Anda. Kami memberikan jawaban berikut: Keamanan Bali adalah tanggung jawab kami. Sejak kedatangan tentara Anda, pulau ini menjadi tidak aman. Keamanan terganggu karena Anda mengkhianati kehendak rakyat yang telah menyatakan kemerdekaannya. Mengenai tawaran untuk bernegosiasi, kami serahkan kepada kebijaksanaan para pemimpin di Jawa. Bali bukan tempat untuk pembicaraan diplomatik. Dan saya tidak dalam posisi untuk berkompromi. Atas nama rakyat Bali, saya hanya menginginkan hilangnya Belanda dari pulau Bali atau sebaliknya saya bisa menjanjikan kepada Anda kami akan terus bertempur sampai tujuan kami tercapai. Jika Anda memilih tinggal di Bali, pulau Bali akan menjadi pertempuran darah antara tentara Anda dan kami.”
Itulah jawaban dari I Gusti Ngurah Rai. Demikianlah ketegasan I Gusti Ngurah Rai dalam menghadapi penjajah Belanda. Suratnya mencerminkan jiwa patriotiknya dan ketidakberaniannya berkompromi dalam pengabdiannya untuk melawan penjajah. Ia menjawab tawaran menyerah dari Belanda dengan teriakan “Puputan, Puputan”, yang berarti perang total. Oleh karena itu perang ini disebut sebagai pertempuran Puputan di Margarana, atau “perang total”. Pada 19 November 1946, di Desa Margarana dekat Ubud, I Gusti Ngurah Rai memimpin pasukan TNI (saat itu dikenal sebagai TRI) dalam pertempuran sengit melawan pasukan Belanda. Selama beberapa hari, Belanda terus melakukan pengepungan terhadap desa tersebut.
Meskipun menghadapi pasukan Belanda yang personel dan persenjataannya jauh lebih maju dan bahkan didukung oleh bombardir taktis, I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen TRI Sunda Kecil (setara dengan pangkat Pangdam saat ini), beserta pasukannya terus bertempur tanpa kenal lelah.
Pertempuran sengit dimulai di pagi hari hingga akhirnya, tidak ada tembakan lagi yang dilancarkan dari pihak Indonesia pada sore hari. Seluruh pasukan TRI dalam pertempuran itu telah tewas, termasuk Komandan Resimen TRI Sunda Kecil I Gusti Ngurah Rai dan Kepala Staf Resimen TRI Sunda Kecil I Gusti Putu Wisnu.
Sikap dan tindakan I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya telah memberikan tradisi kepemimpinan militer yang luar biasa dan menginspirasi bagi generasi TNI berikutnya. I Gusti Ngurah Rai memimpin dengan contoh, memimpin dari barisan terdepan, dan membuktikan patriotismenya dengan mengorbankan tubuh dan jiwa.