LEADERSHIP QUALITIES OF MY SENIORS (PART 2)

by -88 Views
LEADERSHIP QUALITIES OF MY SENIORS (PART 2)

LIEUTENANT GENERAL TNI (PENSIUN) HIMAWAN SOETANTO Salah satu nilai yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan anak buahnya. Seorang komandan harus berada di antara anak buahnya saat mereka bangun pagi hingga tidur. Seorang komandan harus memeriksa kondisi anak buahnya, mulai dari dapur, kamar mandi hingga kualitas celana dalam mereka. Berkat Pak Himawan Soetanto, saya telah mengembangkan kebiasaan memeriksa detail dapur dan peralatan anak buah saya. Pernah, saya menemukan bahwa celana dalam putih tentara sudah berubah menjadi coklat. Saya juga mengetahui bahwa dapur telah menjadi sumber praktik korupsi yang paling banyak. Bayangkan saja, satu kilogram daging dirasionkan untuk 16 orang. Di TNI, hal ini dikenal sebagai ‘daging cukur‘ karena dagingnya tipis seperti pisau cukur. Sungguh tragis. Itulah beberapa hal yang saya pelajari dari kepemimpinan praktis Pak Himawan Soetanto.

Pertama kali saya mengenal Pak Himawan Soetanto adalah saat saya bergabung dengan AKABRI pada tahun 1970. Saat itu, beliau menjabat sebagai Wakil Gubernur AKABRI yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan dan pelatihan. Beliau sangat terpelajar. Dia bisa berbicara bahasa Inggris dan Belanda dengan lancar. Dia bahkan bisa sedikit berbicara dalam bahasa Jepang, yang dia pelajari selama pendudukan Jepang di Indonesia. Beliau juga gemar membaca buku sejarah. Sekali lagi, tokoh-tokoh besar yang saya kenal adalah pembaca buku yang rajin. ‘Pemimpin yang baik harus membaca dengan tekun,’ seperti peribahasa terkenal. Rumahnya berisi banyak buku. Setiap kali saya bertemu dengannya, dia selalu membahas buku dengan saya. Dia kadang-kadang bertanya apakah saya sudah membaca buku karya B. H. Liddell Hart, sejarawan strategi militer Inggris, atau Sun Tzu, seorang ahli strategi militer Tiongkok, dan buku-buku lainnya.

Hal lain yang membuat saya terkesan adalah penampilannya yang rapi. Wajahnya selalu penuh senyuman. Dia selalu humoris, tenang namun percaya diri, dan dekat dengan anak buahnya. Dia memiliki pengalaman bertempur yang panjang, dan itu terlihat dari sikapnya. Hal ini berbeda dengan beberapa orang yang tidak memiliki pengalaman bertempur yang banyak. Mereka cenderung dingin dan menjaga jarak dengan anak buahnya. Mereka selalu ingin patuh pada aturan. Istilah kami di TNI untuk tipe tokoh seperti ini adalah berjiwa PUD atau perwira PUD. PUD adalah singkatan dari Peraturan Pusat Drag. Sementara itu, pemimpin TNI yang terbiasa hadir di tengah-tengah anak buahnya di lapangan biasanya lebih santai dan fleksibel. PUD disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Selain itu, saya ingat sebuah artikel dalam PUD yang menyatakan bahwa komandan unit dapat mengadaptasi PUD sesuai dengan kondisi masing-masing unit. Itu berarti bahwa seorang komandan memiliki kewenangan besar untuk menyesuaikan peraturan berdasarkan kebutuhan dan situasi. Oleh karena itu, salah satu nilai yang saya dapat dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan anak buahnya. Para komandan harus bersama mereka dari fajar hingga senja. Para komandan harus memeriksa kondisi anak buahnya, mulai dari dapur, kamar mandi, hingga celana dalam mereka. Belajar dari Pak Himawan Soetanto, saya memiliki kebiasaan memeriksa detail dapur dan peralatan. Pada suatu waktu, saya pernah menemukan bahwa celana dalam tentara saya berwarna coklat, tidak lagi putih. Saya juga belajar bahwa dapur telah menjadi sumber banyak praktik korupsi. Satu kilogram daging akan dibagi antara 16 orang! Hal ini menjadi terkenal di TNI sebagai ‘daging cukur’, daging tipis seperti pisau cukur. Tragis. Itu adalah beberapa hal kepemimpinan praktis yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto. Letnan Jenderal Himawan Soetanto memiliki karier yang gemilang. Beliau menjadi inspirasi bagi banyak orang di militer. Saya sangat dekat dengannya. Saya tetap dekat dengannya bahkan setelah pensiunnya. Beliau adalah salah satu mentor saya. Beberapa hari sebelum kematiannya, saya mengunjunginya di rumah sakit. Anaknya memberitahu saya bahwa, selain anggota keluarga dekat, beliau juga ingin melihat saya. ‘Dimana jenderal bertempur?’ Anak-anaknya bingung siapa yang dimaksud dengan “jenderal bertempur”. Beberapa dari mereka mencoba klarifikasi apakah beliau mengacu pada Prabowo. Dia mengangguk. Saya terharu mendengar ceritanya. Oleh karena itu, saat saya datang untuk mengunjunginya, saya berdiri tegak dan memberi hormat padanya. Saat itu, saya sudah pensiun, dan saya mengenakan pakaian sipil. Karena kami sering berbicara dalam bahasa Inggris, saya berkata padanya dalam bahasa Inggris, ‘Anda adalah jenderal sejati, Tuan!’ Dia menitikkan air mata. Pada saat itu, beliau tidak bisa lagi berbicara. Itu adalah kenangan saya tentang Pak Himawan Soetanto. Sungguh suatu kehormatan bahwa seorang jenderal yang saya kagumi masih berharap untuk bertemu saya di saat-saat terakhirnya.

Letnan Jenderal TNI (PENSIUN) SARWO EDHIE WIBOWO Sarwo Edhie karismatik. Dia tampan, selalu rapi berpakaian. Dia dikenal sebagai seseorang yang memimpin dari garis depan. Bahkan sebagai komandan Pasukan Khusus (RPKAD), dia terlibat di medan. Dia adalah idola murid, pemuda, dan idola bagi kami, perwira dan kadet muda. Sebagai mentor saya di AKABRI, dia sering berbagi pengalaman. Saat itu, dia menanamkan dalam kami semangat untuk tidak menyerah, semangat patriotisme. Dia juga sempat menulis buku berjudul Hidupku untuk Bangsa dan Negara. Nilai itu diwariskan kepada kami sebagai Kadet AKABRI. Patriotisme melalui cinta tanah air dan kebanggaan pada warisan leluhur kami. Itulah yang Pak Sarwo tanamkan pada kami.

Pertama kali saya bertemu dengan Jenderal Sarwo Edhie adalah saat saya menjadi kadet. Beliau belum menjabat sebagai Gubernur AKABRI (sekarang AKMIL), namun beliau sangat terkenal. Pak Sarwo Edhie juga adalah sahabat dekat orang tua saya. Sebelum saya resmi menjadi kadetnya, saya telah mendengar banyak cerita tentang Pak Sarwo dari orang tua saya, bagaimana Pak Sarwo memimpin Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS) dalam momen krusial pada Oktober 1965 selama kudeta G30S/PKI PKI. Dia adalah tokoh yang karismatik. Tampan, selalu rapi berpakaian. Dia juga terkenal sebagai komandan yang memimpin operasi dari garis depan. Sebagai komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS), dia tetap terlibat di lapangan, sehingga dia juga menjadi idola para kadet muda. Sebagai mentor saya di AKABRI, dia sering bercerita tentang pengalamannya. Saat itu, dia menanamkan dalam kami semangat ketahanan dan patriotisme. Dia juga menulis buku berjudul ‘Hidupku untuk Bangsa dan Negara’. Nilai itu ditanamkan kepada kami sebagai kadet AKABRI. Semangat patriotisme melalui cinta tanah air dan kebanggaan pada warisan leluhur kami, itulah semangat yang ditanamkan oleh Pak Sarwo Edhie pada kami. Setelah ia pensiun dari dinas aktif, dia singkatnya menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan. Untuk kurun waktu singkat, beliau juga menjabat sebagai Ketua Badan Pengawas Pembinaan dan Penghayatan Nilai-Nilai Pancasila (BP7). Saya ingat bagaimana dia mempertahankan sikapnya sebagai seorang prajurit. Sebagai seorang prajurit yang terkenal karena kejujuran dan integritasnya, dia tidak meninggalkan banyak kekayaan saat meninggal. kebetulan, selama hidupnya, dia menikahkan ketiga putrinya kepada lulusan AKMIL. Anak tertuanya dengan Kolonel Infanteri Hadi Utomo, dari angkatan tahun 1970; anak keduanya dengan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono, dari angkatan tahun 1973, yang kemudian menjadi Presiden ke-6 Republik Indonesia; dan anak bungsunya dengan Letnan Jenderal TNI Erwin Sudjono, yang kemudian menjadi Panglima KOSTRAD. Saya juga mengenal ketiga perwira ini dengan baik.

JENDERAL BESAR TNI (PENSIUN) ABDUL HARIS NASUTION Saya merasa beruntung dapat memiliki kesempatan yang luar biasa yang tidak banyak orang alami di negara ini. Itu adalah untuk berbicara langsung dengan salah satu tokoh generasi ’45, tokoh kunci dalam perjuangan kemerdekaan kita: Pak Nas. Saya merasa seolah-olah menjadi seorang murid dari seorang aktor sejarah. Beliau sering berbagi pengalaman, pendapat, strategi perang gerilya, pengalaman melawan Belanda, dan banyak lagi dengan saya. Dia juga sangat mahir dalam sejarah dan berbagai bahasa, seperti halnya dengan tokoh-tokoh generasi ’45 lainnya.

Source link