Pilot Kamikaze itu Berpulang di Lapangan

by -149 Views
Pilot Kamikaze itu Berpulang di Lapangan
Pilot Kamikaze itu Berpulang di Lapangan
Suryopratomo Pemerhati sepak Bola(MI/Seno)

KALAU kita perlu menaikkan bendera setengah tiang atas berpulangnya legenda sepak bola Johan Neeskens, tentu bukan karena kesebelasan nasional Indonesia sudah seperti tim ‘Belanda B’, melainkan sebab kita harus menghormatinya sebagai pemain yang berpengaruh besar bagi perkembangan sepak bola dunia.

Neeskens merupakan salah satu pemain kesayangan pelatih Rinus Michels yang memahami bagaimana total football seharusnya dimainkan. Apabila Johan Cruyff merupakan otaknya, Neeskens menjadi jantungnya tim.

Cruyff tidak akan pernah bisa tampil sebagai bintang lapangan apabila tidak ada Neeskens yang memberikan ruang cukup bagi dirinya untuk ‘menari’ di lapangan hijau. Gaya permainan yang tegas dan keras, visi permainan yang luas, daya jelajah yang luar biasa, dan teknik sepak bolanya yang tinggi membuat Neeskens sulit dikendalikan di lapangan.

Baca juga : Pemain pun Bisa Mogok

Pelatih Michels selalu memilih Neeskens apabila ada tugas untuk mematikan pergerakan playmaker lawan. Neeskens tidak hanya menunggu pemain itu di daerahnya, tetapi menjaganya sejak dari daerah permainan lawannya. “Dia seperti pilot kamikaze kalau sudah mendapatkan tugas dari pelatih,” kata asisten pelatih Belanda Bobby Haarms.

Karakter berani yang diperlihatkan Neeskens membuat rekan-rekannya menjadi lebih percaya diri. Tidak hanya itu, Neeskens membuat semua pemain menjadi seperti satu jiwa sehingga total football bisa berjalan sempurna.

Kapten kesebelasan Brasil di Piala Dunia 1974, Marinho Peres, memahami karakter total football setelah bergabung di Barcelona bersama Neeskens dan Cruyff. Ia belajar dari pelatih Michels bagaimana menekan tim lawan melalui jebakan off-side.

Baca juga : Suarez Pergi, Indonesia Menjelang

“Kami di Brasil menyebut jebakan off-side itu sebagai jebakan penguin. Bagaimana pemain belakang secara bersama-sama naik ke atas meninggalkan pemain lawan di belakang sehingga ketika ia menerima bola langsung terjebak off-side,” kata Marinho.

Menurut center-back asal Brasil itu, jebakan offside seperti itu sangatlah riskan. Sebab, pemain lawan bisa melambungkan bola di atas kepala pemain yang akan melakukan jebakan, tetapi pemain itu sendiri yang berlari ke depan menerima bola, bukan rekannya yang lain.

“Pelatih Michels mengajarkan kepada saya bahwa jebakan offside dalam total football tidak hanya pemain belakang secara bersama-sama menjebak lawan dengan bergerak ke atas, tetapi bergerak ke atas itu secara bersama-sama untuk menekan pemain lawan yang sedang bersama bola,” jelas Marinho.

Baca juga : Persembahan Cabang Nontradisional

 

Besar jiwa 

Marinho ingat di ajang Piala Dunia 1974, sepak bola Brasil sedang dalam grafik yang menurun setelah ditinggal Pele yang berjaya di Piala Dunia 1970 Meksiko. Ketika menghadapi Belanda di babak kedua, tim ‘Samba’ frustrasi karena dibuat tidak berdaya oleh tim ‘Oranye’.

Baca juga : Nasib Inggris setelah Dua Kegagalan Final

Neeskens merupakan pemain yang dianggap paling mempermalukan tim ‘Samba’. Gol yang ia ciptakan ke gawang Emerson Leao benar-benar meruntuhkan kebesaran Brasil.

Dari lapangan tengah permainan, Neeskens menggiring bola masuk daerah Brasil. Neeskens kemudian mengoper bola kepada Cruyff yang berdiri di sayap kanan pertahanan Brasil sambil ia terus berlari ke dalam kotak penalti tim ‘Samba’. Sebagai seorang maestro, Cruyff melihat Neeskens berdiri bebas dan dengan satu sentuhan ia kemudian melepaskan umpan terukur kepada Neeskens.

Dengan teknik bola yang tinggi, Neeskens melakukan tendangan first time ke gawang Brasil. Tendangan voli Neeskens melewati kiper Leao yang mencoba menepis dan bersarang indah di gawang Brasil, 1-0 untuk Belanda.

Marinho mengaku bahwa dirinya sempat lepas kendali saat dipecundangi Belanda ketika itu. Ia sempat memukul Neeskens sehingga gelandang Belanda itu tersungkur dan ia diganjar kartu kuning oleh wasit.

Namun, yang membuat ia kagum, Neeskens tidak pernah menjadikan peristiwa itu sebagai sebuah dendam. Ketika Marinho bergabung bersama Neeskens di Barcelona, pemain Belanda itu tidak pernah mempersoalkan dan bahkan menjadikan dirinya sebagai sahabat.

Tidak mengherankan apabila Neeskens menjadi idola bagi para pemain muda Belanda. Mantan kapten kesebelasan Belanda di Piala Eropa 1988, Ronald Koeman, secara jujur mengatakan bahwa Neeskens merupakan role model-nya.

“Ketika saya masih anak-anak, dia adalah idola utama saya. Sambil kami bermain bola di jalanan, sering saya ditanya, ‘Siapa yang ingin menjadi Cruyff? Siapa yang mau menjadi Willem van Hanegem?’. Saya selalu menjawab, saya ingin menjadi Johan Neeskens,” kata Koeman yang kini menjadi pelatih tim ‘Oranye’.

 

Kebanggaan Ajax

Bagi pemain yang dibesarkan oleh Ajax Amsterdam, Neeskens memang menjadi panutan. Ia menjadi kebanggaan Ajax karena 2 kali mempersembahkan juara Liga Belanda, 3 kali memenangi Piala Champions, dan 2 kali tampil di final Piala Dunia 1974 dan 1978.

Di dua kesempatan Piala Dunia itu, Neeskens memang tidak pernah berhasil untuk mengangkat piala. Akan tetapi, ia tetap dikenang sebagai bintang besar sepak bola Belanda. Apalagi ia nyaris membawa tim ‘Oranye’ membuat sejarah besar saat menjebol gawang Jerman (Barat) di awal pertandingan final Piala Dunia 1974 melalui titik penalti.

Dedikasinya terhadap sepak bola Belanda sungguh luar biasa. Sampai menjelang akhir hayatnya, ia masih membantu Koninklijke Nederlandse Voetbalbond (KNVB) untuk melakukan kampanye sepak bola ke seluruh dunia.

Neeskens tiba-tiba jatuh sakit ketika sedang menjalani program kepelatihan dunia di Aljazair. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat, tetapi nyawanya tidak tertolong.

“Kami merasa sangat kehilangan dengan kepulangan Neeskens yang begitu mendadak di usianya yang ke-73. Dunia tidak hanya mengucapkan selamat tinggal kepada olahragawan berbakat, tetapi juga kepada orang-orang yang penuh kasih, penuh semangat, dan luar biasa,” tulis pernyataan duka KNVB.

Bagi pencinta sepak bola, Neeskens akan selalu dikenang dengan 49 kali penampilan istimewa bersama tim ‘Oranye’. Dengan rambut yang sebahu, Neeskens menjadi gambaran seorang lelaki sejati di lapangan hijau.

Total football yang pernah ia tampilkan bersama pemain tim ‘Oranye’ lainnya, tidak pernah bisa lagi dimainkan oleh kesebelasan yang lain, termasuk kesebelasan Belanda sekarang ini. Pernah Louis van Gaal berhasil menerapkannya saat Ajax memenangi Piala Champions 1995. Namun, ia tidak pernah mampu melakukannya di tim ‘Oranye’.

Tidak salah apabila era Rinus Michels dikenang sebagai era keemasan sepak bola Belanda. Sebab, di tangan Neeskens, Cruyff, Ruud Krol, Rob Rensenbrink, Johnny Rep, Belanda menggoreskan sejarah besar sepak bola melalui permainan total football yang indah.

Terima kasih, Neeskens. Requiescat in pace.

 

Source link