DEWAN Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kembali memeriksa Ketua dan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI terkait dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) dan Pemungutan Suara Ulang (PSU) DPRD Provinsi Gorontalo di daerah pemilihan (Dapil) 6. Sidang tersebut diselenggarakan di Ruang Sidang DKPP Jakarta pada Rabu (23/10).
Pihak Kuasa Hukum Pengadu, Mikewati Vera Tangka menjelaskan sidang ini merupakan lanjutan dari pemeriksaan Ketua dan Anggota KPU lantaran tidak menindaklanjuti Putusan Bawaslu RI mengenai perbaikan terhadap tata cara, prosedur dan mekanisme pemilu khususnya terkait pemenuhan 30% kuota keterwakilan perempuan dalam pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
“Tidak dilakukannya putusan Bawaslu oleh KPU berakibat pada kerugian hak perempuan berpartisipasi di dalam pemilu. Ini berangkat dari PSU di Gorontalo yang jelas sekali bahwa MK juga meminta atau menginstruksikan agar KPU memperbaiki DCT,” ujarnya kepada Media Indonesia di usai sidang di DKPP pada Rabu (23/10).
Mike menilai bahwa tindakan KPU yang menghimbau para peserta pemilu hanya dengan berkirim surat kepada partai politik dan melakukan rapat dengar pendapat dengan DPR Komisi II, tidak cukup menjadi dasar untuk melakukan tindak lanjut perbaikan tata kelola pemilu sesuai utusan Bawaslu.
“Jika hanya disurati tanpa diberikan sanksi, kami menemukan ada pola-pola yang tidak cukup kuat untuk merubah perspektif partai politik agar dapat memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Sehingga ini bukan saja pelanggaran administratif, karena jika tidak dilaksanakan juga menjadi pelanggaran kode etik,” jelasnya.
Mike menuturkan bahwa KPU RI sebagai lembaga penyelenggara pemilu harus menindaklanjuti mandat putusan Bawaslu yang bertumpu pada putusan Mahkamah Agung (MA). Hal ini lanjutnya, sebagai bagian dari menegakkan hak perempuan sebagai warga negara untuk berpartisipasi dalam proses pemilu.
“KPU mengatakan bahwa sidang ini seperti mengulang kasus, sebenarnya tidak, ini tidak pengulangan. Justru yang melakukan pengulangan pelanggaran adalah KPU sendiri, karena tidak segera melakukan perbaikan administrasi dan perubahan kebijakan yang memastikan atau menjamin 30% kuota keterwakilan perempuan itu dapat dipenuhi oleh setiap dapil dan partai politik,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Pihak Kuasa Hukum Pengadu, Ibnu Syamsu Hidayat mengatakan bahwa tindakan berkirim surat ke Parpol dan rapat dengan DPR bukan termasuk dalam bentuk tindak lanjut dari perbaikan administrasi sesuai putusan Bawaslu. Menurutnya, tindak lanjut perbaikan administrasi yang harus dilaksanakan KPU adalah memperbaiki Daftar Calon Tetap (DCT).
“Itu belum cukup karena putusan parpol itu tidak bisa menjadi dasar untuk mencapai afirmasi 30%. Agak menjadi sebuah ironi ketika tidak dilakukan percepatan perubahan DCT dan upaya perbaikan administrasi yang menguatkan. KPU harus melakukan perbaikan DCT, jika tidak memenuhi kuota 30% DCT perempuan maka KPU mempunyai kewajiban untuk bisa tegas tidak meloloskan atau menghapus parpol menjadi peserta pemilu,” ungkapnya.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Keterwakilan Perempuan meminta KPU mengubah ketentuan pembulatan ke bawah pada aturan teknis implementasi kuota 30% bakal calon legislatif perempuan. KPU didesak mengembalikannya pada ketentuan pembulatan ke atas sesuai ketentuan sebelumnya.
Sementara itu, KPU menyatakan diterbitkannya ketentuan ini telah berdasarkan sejumlah proses. Mulai dari rapat konsultasi di DPR dan uji publik ketika Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota masih berstatus rancangan.
Ketua KPU RI Mochammad Afifudin menjelaskan bahwa karena keterbatasan waktu proses pemilu dan adanya dinamika politik yang terjadi di DPR, usulan perubahan terhadap PKPU belum bisa ditindaklanjuti. Sehingga lanjut Afif, pihaknya menilai bahwa tindak lanjut yang paling mungkin untuk dilakukan yaitu mengirimkan surat kepada partai politik.
“Tindak lanjut yang bisa dilakukan paling cepat adalah menyurati para pihak (parpol) agar mereka bisa memeprdomani prinsip kuota 30%. Saat itu DCT sudah ada, surat suara sudah dicetak, itu jadi pertimbangan secara eksplisit yang harus disampaikan ke parpol. Kami di situasi yang tidak mudah dan dalam waktu mepet untuk mengambil kebijakan, sehingga pasca putusan Bawaslu akhirnya itu yang kami lakukan ke parpol,” jelasnya. (Dev/I-2)