Oscar Piastri meraih prestasi luar biasa saat Grand Prix Belanda dengan meraih pole position dan kemudian memimpin sepanjang balapan. Meskipun menghadapi tekanan dari rekan setimnya, Lando Norris, dan Max Verstappen, Piastri berhasil mempertahankan keunggulan. Selain itu, ia juga mencatatkan lap tercepat meski menggunakan ban keras pada putaran terakhir. Prestasi yang luar biasa ini membawa Piastri meraih grand chelem, prestasi yang sebelumnya hanya dicapai oleh 26 pembalap Formula 1.
Sebagai pembalap McLaren, Piastri menjadi pembalap keenam yang berhasil meraih grand chelem, mengikuti jejak Ayrton Senna dan Mika Hakkinen. Sebelumnya, Senna mencatatkan grand chelem pada GP Spanyol 1989 dan GP Italia 1990, sementara Hakkinen meraihnya pada GP Brasil 1998 dan GP Monako 1998. Capaian ini menjadikan McLaren sebagai tim dengan sejarah grand chelem yang terbilang sedikit, dibandingkan dengan tim seperti Ferrari, Red Bull, Mercedes, dan Lotus.
Di GP Spanyol 1989, Senna membuktikan kemampuannya dengan meraih grand chelem untuk menjaga peluangnya dalam perebutan gelar juara. Sirkuit Jerez menjadi saksi ketangguhan Senna pada balapan tersebut. Sementara di GP Monako 1990, Senna kembali memimpin dengan kokoh di kandangnya, mengungguli rekan setimnya, Alain Prost, dengan perolehan poin yang signifikan.
Sementara itu, Hakkinen mencapai grand chelem pada GP Brasil 1998 dan GP Monako 1998. Kebangkitan Hakkinen di dunia balap terbukti dengan dominasinya, terutama di sirkuit-sirkuit legendaris seperti Monako. Dengan performa terbaiknya, Hakkinen berhasil mengungguli rival-rivalnya dengan jarak yang signifikan, menunjukkan keunggulan McLaren saat itu.
Grand chelem yang diraih oleh para pembalap McLaren ini menjadi bagian sejarah tersendiri dalam dunia balap Formula 1. Prestasi yang luar biasa ini tidak hanya menunjukkan ketangguhan para pembalap, tetapi juga kualitas dan kekuatan tim McLaren sebagai satu kesatuan yang mampu meraih prestasi gemilang di lintasan balap internasional.
