Pameran Seni Wayang Yogyakarta Suarakan Krisis Ekologis

by -28 Views

Sebuah pameran seni yang bertajuk Wayang Kota digelar di Monumen Antroposen, Sentulrejo, Bawuran, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Karya-karya yang dipamerkan adalah wayang kontemporer berbahan limbah dengan muatan kritik terhadap krisis lingkungan dan ketimpangan sosial. Acara tersebut diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) bekerja sama dengan Monumen Antroposen dan gerakan lingkungan Extinction Rebellion (XR). Pameran ini merupakan ruang pertemuan antara ekspresi seni, kesadaran ekologis, dan aktivisme sosial.

Dilaksanakan sejak 26 Juli hingga 30 Agustus 2025, pameran tersebut menampilkan 10 karya wayang hasil seleksi dari 18 seniman. Karya-karya tersebut dibuat dari bahan daur ulang seperti botol plastik bekas, chip kartu bekas, potongan pagar, map plastik, hingga label kemasan. Limbah-limbah tersebut diolah menjadi media ekspresi yang menyentil kesadaran akan kerusakan ekosistem, praktik ekonomi eksploitatif, dan ancaman greenwashing dalam isu keberlanjutan.

Wayang Kota menjadi sarana mengingat dan menggugat krisis ekologi, kegelisahan urban, dan luka-luka kolektif yang traumatik. Para seniman menciptakan tokoh baru dari bahan-bahan yang dianggap tak berguna lagi, seperti plastik, botol, dan kemasan produk, untuk berbicara tentang kota, keberlanjutan, dan apa yang masih bisa diselamatkan. Salah satu karya yang mencuri perhatian adalah Wayang Disabilitas karya Kus Sri Antoro, yang menantang persepsi umum tentang disabilitas.

Pameran ini juga memberikan penghargaan kepada tiga karya terbaik dengan total hadiah mencapai Rp2,5 juta. Juara pertama diraih oleh Sri Tumuwuh, disusul oleh Wayang Disabilitas oleh Kus Sri Antoro dan Astaga karya Topan Adi Saputra. Ketiga karya tersebut dipilih oleh tim kurator dan juri yang terdiri dari berbagai individu terkemuka di bidang seni dan lingkungan.

Melalui Pameran Wayang Kota, para penyelenggara berharap dapat terus menyuarakan keadilan ekologis dan mengajak seniman serta masyarakat untuk bersinergi dalam memperjuangkan isu lingkungan. Lokasi pameran yang berdekatan dengan Tempat Pembuangan Akhir Piyungan juga menjadi pengingat akan krisis lingkungan yang nyata dan masih belum terselesaikan. Wayang, dalam konteks ini, bukan hanya dilihat sebagai artefak masa lalu, tetapi juga sebagai alat advokasi masa kini dan masa depan.

Source link