Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tidak Berkembang, KSP: Politik Biaya Tinggi Masih Terjadi

by -101 Views
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tidak Berkembang, KSP: Politik Biaya Tinggi Masih Terjadi

JAKARTA — Wakil Kepala Staf Presiden Bidang V Jaleswari Pramodhawardani menyatakan bahwa stagnasi skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dan penurunan peringkat dari 110 menjadi 115 dari 180 negara, banyak disebabkan oleh faktor-faktor dari sisi hulu, seperti politik biaya tinggi dan kurangnya integritas aparat penegak hukum.

“Skor ini harus menjadi evaluasi bersama dari seluruh jajaran pemerintah, untuk memperbaiki penguatan integritas dan kredibilitas di sisa masa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf,” kata Jaleswari menanggapi rilis Indeks Persepsi Korupsi oleh Transparency International, seperti yang dikutip dari siaran pers KSP pada Kamis (1/2/2024).

Transparency International meluncurkan Indeks Persepsi Korupsi 2023 atau Corruption Perception Index (CPI). Skor IPK Indonesia mengalami stagnasi yakni 34 dan berada pada peringkat 115 dari 180 negara.

Pengarah Tim Nasional Stranas Pencegahan Korupsi ini menjelaskan, rilis Indeks Persepsi Korupsi ini penting bagi pemerintah sebagai evaluasi kebijakan pemberantasan korupsi dari hulu. Hal ini karena masih terjadinya suap dalam layanan publik dan perizinan, kurangnya integritas aparat birokrasi dan penegak hukum, serta money politics yang berakibat pada politik biaya tinggi dan kualitas demokrasi.

Terkait politik biaya tinggi, data KPK menunjukkan bahwa lebih dari 186 kepala daerah dan 35 menteri atau kepala lembaga menjadi terpidana korupsi dalam periode 18 tahun terakhir (KPK, 2023). Terjadinya politik uang dalam pemilu adalah salah satu penyebab para politisi ini terlibat korupsi.

“Biaya politik saat ini sangat tinggi, dari data yang kami dapat dari FGD internal pemerintah, rerata biaya politik yang dikeluarkan untuk menjadi anggota DPR-RI adalah Rp 10-15 miliar dan Kepala Daerah Rp 100 miliar,” kata Jaleswari.

Tingginya biaya politik ini sebagian besar digunakan untuk operasional jaringan tim di lapangan, termasuk melakukan jual-beli suara (vote buying) yang menurut hasil survei Global Corruption Barometer dialami oleh 26 persen pemilih di dalam Pemilu Indonesia (TI, 2020). Tingginya biaya politik ini diperkuat dengan hasil kajian KPK, bahwa 82,3 persen calon Kepala Daerah dibiayai oleh sponsor (bohir) sehingga membuka peluang terjadinya transaksional politik (KPK, 2020).

Untuk mengatasi masalah politik uang, perlu dilakukan dua pendekatan. Yaitu, penegakan sanksi administratif dan hukum kepada pelaku politik uang serta edukasi yang intensif mengenai pencegahan politik uang di level akar rumput. Selain itu, perubahan regulasi untuk peningkatan pendanaan dan akuntabilitas partai politik serta penguatan Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) juga diperlukan.

Jaleswari menyatakan bahwa pemerintah bersama KPK akan terus meningkatkan upaya pembenahan sistem pencegahan korupsi di antaranya dengan Stranas Pencegahan Korupsi dan berbagai inisiatif kebijakan pemberantasan korupsi.

Sumber: Republika