Sensasi Indonengslish Vs Pemajuan Kebudayaan

by -27 Views
Sensasi Indonengslish Vs Pemajuan Kebudayaan

PENYAIR dan penelaah sastra Saut Simorang pernah berkelakar, tetapi bagi saya candaan itu menjadi catatan penting terkait dengan bahasa Indonesia. “Sekarang kita susah menemukan ayam goreng, yang banyak malah fried chicken!” selorohnya. Saya yang menjadi lawan bicaranya tersentak, seperti tersetrap pada situasi ironis terkait dengan bahasa Indonesia. Saya juga membatin, ya, betul, bukan hanya ayam, nama-nama sajian di daftar menu kafe-kafe dan restoran-restoran juga nyaris sudah berbahasa Inggris!

Percakapan di atas ialah potret kecil dari gelombang indonenglish atau englonesian yang sudah mengakar menjadi praktik budaya populer–dan menjadi standar–di tengah pergaulan anak-anak muda Indonesia saat ini. Indonenglish bisa dipahami sebagai praktik berbahasa campuran, antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Awalnya, praktik indonenglish terjadi masif, terutama di kota-kota besar yang disponsori langsung oleh cara berbahasa para artis dan selebritas; keberadaan dan perkembangannya masih cukup terbatas, serta bisa dipahami sebagai praktik berbahasa subculture.

Namun, hari ini, di tengah perkembangan teknologi internet dengan fasilitas media sosial yang canggih, praktik indonenglish sudah sangat berbeda. Hari ini indonenglish sudah lebih merasuk lebih dalam, membetot ke(tidak)sadaran dengan beragam bentuk dan sensasinya. Ia dipermulus oleh banyak faktor: fitur dan aplikasi media sosial, media-media luring dan daring yang berlimpah, iklan, gaya hidup, agensi agama, dan sebagainya.

Baca juga : Kebangkitan Pemuda Berakar dari Kata dan Bahasa

Akhirnya, indonenglish sudah menjadi praktik berkomunikasi sehari-sehari, tak lagi menjadi barang mewah di kalangan generasi muda urban saja, tetapi juga sudah menyebar luas ke semua pelosok, yang semuanya berlomba-lomba secara terbuka untuk mengikuti arus, pengaruh, dan standar budaya internasional.

Secara historis, kita mungkin belum menemukan titik tolak sejarah yang secara otoritatif bisa dijadikan sandaran menjelaskan awal mula fenomena indonenglish. Yang pasti, tahun 2000-an fenomena itu mulai sengit diperdebatkan oleh para ahli bahasa dan terutama oleh para kritikus sastra serta para sastrawan sendiri. Namun, semakin ke sini, saya semakin susah menemukan perdebatan soal itu. Mungkin fenomena tersebut sudah menjadi praktik normal dan kebenaran yang tak perlu diperdebatkan (?).

Bagi saya, meskipun tidak menolak secara mentah-mentah, perhatian pada nasib bahasa Indonesia dari beragam ‘ancaman’ harus selalu disikapi secara bijak dan publik perlu mendapatkan edukasi yang terukur. Untuk itu, mengangkat dan memperdebatkan isu-isu kebahasaan, termasuk praktik indonenglish, harus dimaknai sebagai bentuk perhatian bagi kebudayaan Indonesia.

Baca juga : Dirjen Kebudayaan Tegaskan Urgensi Pemajuan Kebudayaan di Aceh

 

Captive mind

Ketercekokan kita pada bahasa Inggris sebenarnya bisa dilihat sebagai produk nyata dari captive mind. Istilah itu saya kenal dari Syed Hussein Alatas (1928-2007), seorang sosiolog kelahiran Bogor dan berkarier di Malaysia, mulai dari buku Mitos Pribumi Malas (1977) hingga artikel-artikel lainnya dalam beberapa jurnal.

Baca juga : Lembaga Bahasa Korea Bantu Siswa Masuk Universitas

Secara etimologis, captive mind bisa dipahami sebagai pikiran yang jumud/terkurung, yang oleh Alatas didefinisikan dalam satu di antaranya: it is unconscious of its own captivity and its conditioning factors (tidak sadar akan keterikatannya sendiri dan faktor-faktor pengondisiannya)–yang semua itu karena faktor/kondisi kolonialisme! Diskusi yang cocok untuk membongkar konsep itu ialah studi tentang pascakolonialisme atau dekolonialisme, dan Alatas merupakan pendekarnya untuk konteks ASEAN.

Pikiran yang jumud bisa menyasar pada aspek apa pun dalam konteks masyarakat koloni, termasuk Indonesia, apalagi posisi bahasa menjadi jangkar kebudayaan sebuah bangsa. Saya meminjam istilah tersebut karena sekaligus untuk kritik lebih luas bahwa problem hilangnya ‘bahasa nasional’ juga dialami oleh Malaysia. Artinya, negara-negara ASEAN yang mempunyai sejarah kolonialisme menderita penyakit yang sama terkait dengan bahasa.

Captive mind sebenarnya bisa kita tempatkan sebagai produk dari problem inferioritas: perasaan kalah, lemah, dan rendah di depan orang lain (dominasi Barat). Ketika mental inferior itu menjadi problem akut yang diderita bersama dan terkonstruksi sebagai cara pandang dalam melihat dunia, captive mind ialah konsekuensi logis yang harus diterima.

Baca juga : Kang Maman: Buku Bahagia dengan Berqurban Hadirkan Dimensi Baru Kebudayaan Kurban

Yang mengenaskan dan berbahaya ialah ketika struktur captive mind sudah tertanam menjadi penyakit akut! Semua arus dominasi Barat dan proyek imperialis semakin menemukan karpet merah dalam kebudayaan kita. Akibatnya, kebudayaan kita takluk, tergantikan secara sporadik dan ugal-ugalan oleh kebudayaan luar–merasuki cara berpikir dan mengontrol cara bertindak!

Captive mind menuntun pada cara bertindak, bahwa berbahasa tanpa ada unsur inggris-inggrisnya dirasa kurang eksis sehingga bahasa percakapan (baik formal maupun informal) mencampuradukkan kosakata Inggris dan Indonesia. Praktik itu terjadi secara sistematis karena pada waktu bersamaan kemampuan berbahasa Inggris selalu dianggap sebagai keunggulan kompetitif di banyak sektor dalam kehidupan kita. Teknologi dan internet juga berperan besar dalam menyebarkan penggunaan bahasa Inggris. Produk paling nyata di tengah-tengah kita ialah bahasa gaul Jaksel.

Yang mengejutkan, tidak sedikit pula para orangtua mendukung praktik indonenglish dengan dalih untuk melatih anak cepat beradaptasi dengan bahasa asing (Inggris). Pada titik tersebut, apakah orangtua sudah siap dan berkesadaran dengan mendidik bahasa Indonesia secara disiplin terlebih dahulu atau memang melalaikan bahasa ibu dan meninggalkannya begitu saja? Jika yang terakhir terjadi, entah sadar, entah tidak, kita hanya menunggu waktu untuk bersama-sama mengubur bahasa Indonesia karena pada masa depan kita akan bercakap tentang hidup ‘which is literally santai, but somehow interesting untuk hunting cuan’.

Kenapa itu terjadi? Jika pinjam kalimat Alatas, ini jawabannya: the subjugated country is very often rim by inferior talents.

Sasaran Alatas sistemis dan menunjuk hidung penguasa, yaitu karena pemimpin dan mereka yang mengendalikan roda pemerintahan dikelilingi oleh bakat-bakat yang inferior dan payah, tidak punya visi berbasis pada khazanah kebudayaan dan pengetahuannya sendiri. Saya tentu saja sejalan dengan Alatas karena kekuasaan mempunyai banyak alat dan kebijakan-kebijakannya sangat menentukan terkait dengan nasib bahasa bangsanya sendiri. Semakin lalai dan abai pada bahasa, semakin kocar-kacir pula nasib bahasa Indonesia!

 

Berharap pada siapa?

Pertanyaan itu mungkin bisa dinilai terlalu naif, tetapi sebagai bagian dari anak bangsa dan bahasa Indonesia kita pegang sebagai lingua franca (bahasa perantara), perhatian terhadap nasib bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan nasional harus terus ditumbuhkan menjadi kesadaran bersama demi menjaga produk kebudayaan yang kita punya. Karena berkah bahasa ini pula, imajinasi tentang kemerdekaan membuncah di dada anak muda yang berkumpul dan menorehkan Sumpah Pemuda.

Namun, jika harus dijawab secara taktis dan strategis, saya bisa mengajukan dan mendiskusikannya dalam konteks pengalaman saya sendiri, yaitu di dunia kampus. Saya melihat keberpihakan pemerintah terhadap bahasa Indonesia harus ditegakkan.

Sebagai struktur terbesar dan mempunyai aparatus, negara mempunyai kekuatan sentral yang harus menjaga dan menggawangi bahasa Indonesia menjadi bahasa yang dicintai dalam negeri dan sekaligus mempunyai kekuatan di hadapan bangsa lain.

Tentu banyak kanal yang bisa dipakai dan dimanfaatkan untuk menjaga dan mengembangkan bahasa Indonesia, dari sistem pendidikan, lembaga seperti pusat bahasa, hingga kebijakan bilateral dengan negara lain yang bisa dimanfaatkan sebagai negosiasi.

Bagi saya, sebagai kurikulum baru, program Merdeka Belajar di bawah Kemendikbud-Ristek sebenarnya berpotensi mengembangkan secara spesifik hal ihwal bahasa Indonesia sebagai perwujudan bagi pemajuan kebudayaan Indonesia.

Implementasi terkait dengan pengembangan dan pemajuan bahasa Indonesia secara terukur dan komprehensif harus menjadi desain yang terukur dalam skema sistem pendidikan, termasuk di lembaga pendidikan tinggi, baik negeri maupun swasta. Dalam ranah perguruan tinggi, program Merdeka Belajar perlu dikembangkan dengan infrastruktur dan suprastruktur yang perlu dipersiapkan secara matang.

Poin penting yang diajukan sebagai wacana oleh Mendikbud-Ristek ialah memperkuat kebijakan internasionalisasi bahasa Indonesia. Meskipun masih pertarungan wacana, terutama untuk menanggapi pernyataan Perdana Menteri Malaysia Datuk Sri Ismail Sabri Yaakob pada lawatannya ke Indonesia (1/4/2022) terkait dengan bahasa Melayu sebagai bahasa perantara bahasa resmi ASEAN, sikap Menteri Nadiem Anwar Makarim dengan menolak keras dan menawarkan bahasa Indonesia yang layak jadi bahasa perantara di ASEAN patut diapresiasi. Itu sikap taktis yang harus dimaknai untuk menjalankan amanat undang-undang untuk mengembangkan dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia.

Sayangnya, sejak kembali menjadi bagian dari dunia akademia, saya mendapati kecenderungan arus ‘membunuh bahasa Indonesia’ secara sistematis karena beberapa faktor, terutama karena kekeliruannya dalam menerjemahkan internasionalisasi kampus (dari kemasan kelas dan perkuliahan, publikasi, hingga jurnal ilmiah).

Saya mendukung proyek internasionalisasi kampus dan sebagainya, tetapi hal-hal mendasar ‘di dapur’ sendiri harus beres terlebih dahulu. Menginternasionalisasikan kampus bukan berarti melacurkan diri pada arus utama dengan menggunakan semua ukuran, matrik, dan standar yang mereka buat, melainkan ia semestinya dimaknai menginternasionalisasikan (dan mendialogkan) pengetahuan yang diproduksi nasional melalui proses yang ketat untuk mementaskan kekuatan dan eksistensi bangsa dan negara, termasuk bahasa Indonesia.

Karena ruangnya yang fleksibel dan masih terus dikembangkan, program Merdeka Belajar mempunyai potensi untuk secara khusus memikirkan konteks bahasa Indonesia sebagai proyeksi untuk pemajuan kebudayaan Indonesia. Contoh mensadar salah satunya ialah perlunya dibentuk/ditunjuk ahli bahasa Indonesia minimal di setiap fakultas pada setiap perguruan tinggi yang bisa diambil dari lulusan sastra dan bahasa Indonesia.

Source link