Gerakan dan Idealisme Mahasiswa

by -20 Views
Gerakan dan Idealisme Mahasiswa
Gerakan dan Idealisme Mahasiswa
(MI/Duta)

MAHASISWA adalah kelompok intelektual muda yang sering kali berdiri di garda terdepan untuk menyuarakan arti penting demokrasi dan memperjuangkan ketidakadilan. Sejarah telah membuktikan bahwa mahasiswa dari waktu ke waktu senantiasa memainkan peran kunci dalam melakukan kritik dan memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Baik secara individual maupun kelembagaan, mahasiswa tidak pernah surut memperjuangkan nasib rakyat yang tertindas dan diperlakukan semena-mena oleh para pemilik kekuasaan dan kepentingan. Idealisme mahasiswa selalu muncul, dan menempatkan mereka sebagai kelompok yang tak mudah dipatahkan oleh regulasi maupun ancaman senjata.

Pada masa Kebangkitan Nasional Budi Oetomo tahun 1908, era Sumpah Pemuda tahun 1928, era Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945 hingga awal Orde Baru tahun 1966, dan pada masa Orde Reformasi tahun 1998, mahasiswa adalah ujung tombak perjuangan. Di Orde Reformasi, berkat gerakan mahasiswa yang tak kenal lelah, suksesi kepemimpinan nasional pun berhasil diwujudkan. Orde Reformasi adalah sebuah masa yang membuktikan betapa kuat tuntutan dan kekuatan mahasiswa ketika mereka bersatu.

 

Pergeseran

Memasuki era pasca-Reformasi, peran gerakan mahasiswa tak juga surut. Setiap muncul masalah yang dianggap meresahkan di kalangan elite politik, tak satu-dua kali gerakan kepedulian mahasiswa kembali menyeruak. Sebagai bagian kelompok intelektual dari kampus, mahasiswa tidak pernah kendur menyuarakan idealisme. Di berbagai kampus, mahasiswa tak segan langsung turun ke jalan ketika merasa ada sesuatu yang salah dari kehidupan politik yang ditampilkan elite politik.

Ketika muncul fenomena politik dinasti, misalnya, bersama para guru besar, dosen, dan aktivis yang peduli, mahasiswa pun turun ke jalan menggelar aksi untuk menentang hal-hal yang dinilai dapat merusak demokrasi.

Mahasiswa intinya tidak akan pernah mundur dari idealisme dan semangatnya untuk berjuang demi bangsa dan negara. Meski demikian, pola gerakan mahasiswa sebetulnya tidak pernah sama. Dalam beberapa tahun terakhir, kita bisa melihat ada pergeseran pola gerakan mahasiswa yang muncul di lapangan. Gerakan mahasiswa tidak lagi semata hanya berkutat pada mekanisme kontrol dan memperjuangkan aspirasi rakyat melalui aksi-aksi unjuk rasa di jalan.

Mahasiswa yang didominasi generasi Z tampil dengan sosok yang agak berbeda. Tidak semua mahasiswa masuk dalam kelembagaan atau organisasi massa. Tidak sedikit mahasiswa memilih mengambil jarak dengan aktivitas politik dan kemudian lebih menyibukkan diri dengan kegiatan keseharian yang berbasis hobi, seni, dan kepentingan sosialnya masing-masing.

Keterlibatan mahasiswa dalam aksi demo dan gerakan politik praktis di berbagai kampus cenderung menurun. Mahasiswa tidak lagi antusias terlibat dalam unjuk rasa. Kakak-kakak senior mahasiswa yang di masa orientasi penerimaan mahasiswa baru tak pernah bosan untuk melakukan pembinaan politik, sering kali gagal meraih simpati mahasiswa baru.

Sekali lagi, sebagai bagian dari generasi Z, mahasiswa saat ini memiliki orientasi yang berbeda. Dalam banyak kasus, mahasiswa di era postmodern seperti sekarang ini lebih banyak menghabiskan waktu untuk aktivitas pleasure daripada aktivitas politik praktis.

Menyikapi penurunan gairah mahasiswa terlibat dalam gerakan-gerakan politik praktis, tentu wajar jika membuat kelompok mahasiswa yang memiliki idealisme tinggi terhadap nasib bangsa menjadi waswas. Bagi kelompok ini, mahasiswa yang ideal seharusnya memiliki kepekaan yang lebih kuat terhadap nasib rakyat yang tertindas. Bagi mahasiswa kelompok ini, mahasiswa bukan sekadar memiliki peran sebagai agen of social change, tetapi juga sebagai kekuatan social control.

Mahasiswa yang ideal adalah mahasiswa yang mampu mengembangkan diri sebagai kekuatan moral atau guardian of value. Berbeda dengan mahasiswa yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk berselancar di dunia maya, mencari infotainment dan info-info kehidupan selebritas lainnya, mahasiswa yang kritis umumnya lebih tertarik menghabiskan waktu untuk mencari informasi soal ketidakadilan dan penindasan. Ini adalah ciri dari kelompok mahasiswa yang idealis.

 

Menulis

Tidak ada yang keliru ketika ada mahasiswa yang memilih rute menjadi aktivis politik dan gencar menyuarakan ketidakadilan. Menjadi aktivis politik, menjadi buzzer, menjadi pekerja sosial, menjadi dosen, guru, karyawan swasta, dan sebagainya, semuanya adalah pilihan yang harus dihormati.

Seorang mahasiswa yang memiliki keberanian lebih dan kemudian memilih menjadi aktivis politik yang tak mundur lawan tantangan, tentu patut diapresiasi. Akan tetapi, bukan berarti mahasiswa dan intelektual kampus yang memilih rute berbeda lantas bisa distigma sebagai orientasi gerakan yang salah atau hanya gerakan second class.

Memasang papan ucapan selamat kepada presiden dan wakil presiden yang sudah dilantik secara sah dengan menggunakan narasi yang kasar, bagi sebagian pihak mungkin dianggap bentuk ekspresi keberanian dan sudah seharusnya diapresiasi. Akan tetapi, bagi kelompok yang lain, penggunaan narasi yang kasar dan tidak sesuai dengan habitus akademik, sebetulnya juga perlu dikaji ulang. Penggunaan narasi kasar untuk menyampaikan aspirasi politik mungkin menjadi jalan pintas untuk meraih popularitas karena menjadi lebih mudah viral.

Kebiasaan beberapa tokoh yang kerap mengeluarkan narasi atau diksi yang kasar, dari segi pemberitaan mungkin lebih seksi dan menarik bagi wartawan. Namun, saya pribadi berpendapat bahwa ruang diskusi di dunia akademik sesungguhnya akan lebih elok jika dibangun melalui narasi-narasi yang sopan tapi tetap berbobot. Selama menjadi dosen, saya selalu mendorong mahasiswa untuk menulis, baik artikel ilmiah populer maupun artikel jurnal.

Menulis adalah media untuk membiasakan diri berdebat secara ilmiah. Saya tidak mengatakan kegiatan ini lebih baik daripada aksi turun ke jalan melakukan unjuk rasa. Akan tetapi, bagi mahasiswa yang memiliki alasan tersendiri untuk tidak ikut menjadi aktivis politik, menjadi penulis adalah peluang akademik yang sangat terbuka bagi mahasiswa sebagai bagian dari kelompok intelektual.

Antonio Gramsci niscaya tidak menjadi teoritisi dan aktivis gerakan politik kalau ia tidak menuangkan pemikirannya dalam karyanya yang terkenal, Prison Notebooks. Bagaimana pendapat Anda?

Source link